Taktik Assad Mempertahankan Diri

Oleh Adnan Khan
Bashar al-Assad pernah bersumpah untuk “hidup atau mati ‘di Suriah, saya orang Suriah, saya lahir di Suriah, saya harus tinggal di Suriah dan mati di Suriah. Saya kira Barat tidak akan [ikut campur tangan], tetapi jika mereka melakukannya, tak seorang pun bisa mengatakan apa yang akan terjadi. Saya pikir harga invasi itu, jika memang terjadi, akan menjadi lebih mahal dari apa yang seluruh dunia bisa tanggung “[1]. Saat berbicara dengan Today TV dari Rusia awal bulan ini, Presiden Suriah itu menegaskan bahwa dia tidak berniat melarikan diri. Sementara militer memiliki banyak kekurangan, angkatan bersenjata Assad memiliki kemampuan lebih banyak dibandingkan angkatan bersenjata pihak oposisi dan hal ini telah memungkinkan Assad untuk melakukan empat strategi cabang untuk menghancurkan pemberontakan.
Serangan udara dan penembakan artileri jarak jauh telah menjadi tindakan yang terus dilakukan dari strategi al-Assad untuk menaklukkan massa pemberontak. Kota Daraa pada bulan Maret 2011 menjadi kota pertama yang menghadapi strategi al-Assad dengan kekuatan luar biasa untuk menghancurkan penduduk kota itu. Para penembak jitu mengambil posisi di atas atap, pasokan air dan saluran telepon diputuskan,  sehingga kota itu benar-benar terputus dari seluruh negara sementara hujan arteleri menggempur kota. Penggunaan pesawat-pesawat di era Soviet adalah bagian dari perang psikologis Assad. Warga menyatakan bahwa “para pilot menggunakan taktik psikologis. Pesawat-pesawat jet sering menukik ketika melakukan serangan dengan berondongan peluru seperti tindakan mengejek, dan dengan suara yang memekakan telinga terbang melalui pusat-pusat perkotaan, atau terbang di dataran tinggi, sebagai tanda akan adanya serangan bom. Helikopter tempur yang terbang rendah juga menembaki jalan-jalan dengan tembakan senapan mesin, dan penduduk tidak bisa tidur karena adanya aktivitas di udara pada malam hari itu yang melelahkan saraf baik warga sipil maupun para pemberontak “[2]. Strategi ini memperlemah pertahanan pemberontak menjelang dilakukannya fase berikutnya yaitu melakukan pengepungan skala luas.
Pengepungan kota Homs yang dimulai pada bulan Mei 2011 dan berlangsung selama lebih dari 8 bulan dijumpai pembantaian yang dilakukan secara serampangan terhadap siapapun yang berdiri menentang unit-unit tentara Assad. Tentara Suriah memulainya dengan meluncurkan serangan ofensif terhadap distrik Baba Amr, meskipun Baba Amr tidak memiliki senjata berat. Saat dilakukan suatu pengepungan skala besar, seluruh wilayah Baba Amir dibombarbir, setelah semua rute pasokan diblokir. Setelah itu, tank-tank meluncur ke beberapa wilayah di kota Homs dan memulai perburuan kepada semua pendukung pihak oposisi yang dikenali. Malam sebelum dimulainya operasi, militer memutuskan aliran listrik ke kota itu. Pada Oktober 2012, Homs mengalami serangan ofensif yang ketiga dari tentara Suriah dan mungkin pengeboman terburuk dalam beberapa bulan ketika pesawat-pesawat tempur, tank-tank dan artileri menembakkan rudal-rudal dan mortir ke wilayah yang dikendalikan pemberontak. [3] Selama serangan itu, pihak oposisi tetap bertahan di posisi pertahanan mereka.

Penggunaan tentara bayaran dalam melakuan tindakan keras juga telah menjadi ciri lain dari strategi al-Assad untuk bertahan hidup. Unit Shabiha telah melakukan kampanye intimidasi dengan membunuh dan memukuli orang-orang yang menghadiri demonstrasi, dan mereka juga telah melakukan eksekusi, penembakan yang dilakukan dari kendaraan dan serangan-serangan sektarian. Karena tentara Suriah terutama terdiri dari kaum Sunni, Assad terpaksa untuk mengandalkan hanya segelintir unit yang dipercaya – Divisi Lapis Baja ke-4, Garda Republik dan Pasukan Khusus 14. Akibatnya, kelompok-kelompok milisi itu telah secara konsisten terbiasa untuk mengepung kota-kota. Salah satu anggota Shabiha menekankan peran yang dilakukanya: “Pemerintah memberi saya £ 30.000 Suriah per bulan dan  £  10.000 tambahan atas setiap orang yang saya tangkap atau bunuh. Saya memperkosa seorang gadis, dan komandan saya memperkosannya berkali-kali. Itu hal yang normal “[4].
Pasukan Bashar al-Assad saat ini berhadapan dengan pemberontakan di seluruh negeri, dengan kantung-kantung oposisi yang terbentuk di hampir semua bagian wilayah gubernuran kunci negara itu. Karena rezim hanya menggunakan sebagian kecil dari kekuatan dan sumber daya yang terbatas, rezim Assad telah memprioritaskan operasinya. Militer terus melakukan serangan ofensif yang bertujuan menghancurkan kantung-kantung oposisi di daerah-daerah kritis. Hal ini telah menyebabkan sebagian besar wilayah pedesaan secara efektif jatuh ketangan rakyat karena pasukan rezim lebih fokus untuk mengumpulkan senjata yang cukup agar bisa mempertahankan kontrol atas kota-kota yang penting dan jalur pasokan. Setiap kali rezim mengepung sebuah kota, hal itu merugikan posisi rezim di wilayah-wilayah lain. Akibatnya, rezim enggan melakukan konfrontasi langsung di sebagian besar wilayah ini dalam menghadapi pemberontakan. Sementara pertempuran berlanjut di banyak wilayah negara, Aleppo dan Damaskus adalah kota-kota  yang mendominasi sumber daya rezim dalam hal konfrontasi langsung. Rezim tidak dapat mempertahankan jalur pasokan atau mengalami kerugian ketika melakukan konfrontasi langsung di sebagian besar negara dan di banyak wilayah lain.
Perang ini sudah berlangsung hampir dua tahun sejak rakyat Suriah bangkit melawan rezim Bashar al-Assad. Rezim awalnya menggunakan dinas rahasia yang terkenal kejam untuk memadamkan pemberontakan, namun rezim kemudian beralih menggunakan militernya ketika pemberontakan menyebar ke seluruh negeri. Pihak militer telah menggunakan seluruh kekuatan militernya untuk melawan baik penduduk sipil maupun pasukan oposisi dengan harapan bisa menghentikan pemberontakan. Dalam menghadapi pembelotan dan perpecahan di kalangan segmen Alawi, cengkraman Bashar al-Assad pada kekuasan menjadi semakin longgar.