BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada awal abad 20, sosiologi mempunyai peranan penting dalam
pemikiran pendidikan, sehingga lahirlah sosiologi pendidikan. Sosiologi
pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah
pendidikan yang fundamental.[1]
Fenomena perubahan sosial kehidupan masyarakat cukup kompleks. Fenomena
sosial yang ada seringkali mengacu pada adanya indikasi-indikasi yang rentan
sekali melahirkan perbedaan dan bahkan
perselisihan dalam hal persepsi dan interpretasi. Hal ini dikarenakan
persoalan kemanusiaan sangat erat hubungannya dengan perubahan dan perkembangan
sosial.
Manusia senantiasa membutuhkan satu sama lain untuk kelangsungan hidup
dan mempertahankan predikatnya sebagai manusia. Wujud dari itu akan melahirkan
ketergantungan yang pada akhirnya mendatangkan sebuah bentuk kerjasama,
berlangsung dalam rentang waktu yang tak terbatas. Dari interaksi-interaksi
tersebut pada akhirnya akan melahirkan sebuah bentuk masyarakat yang beraneka
ragam, baik dari segi struktur, politik maupun sosialnya. Ini adalah sebuah
keniscayaan, karena sejak kehadirannya, mereka telah dianugerahi gelar sebagai makhluk sosial.
Dalam kerangka premis tersebut, berbagai usaha telah dilakukan, bahkan
ada sebagian yang terkesan berlebihan dalam mengkaji dan mengadakan penelitian
sosial. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan waktu, sampai saat ini belum
selesai perjalanan menemukan sebuah teori kehidupan sosial yang mapan dan jitu,
kendati telah banyak teori yang kita telah pelajari.
Selama ini, teori struktural fungsional cukup dominan dalam berbagai
kajian sosiologi, termasuk kajian-kajian dalam upaya memahami, menjelaskan, dan
menganalisis kebijaksanaan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Dominasi
teori stutktural fungsional dalam kajian sosiologi pendidikan di Tanah Air,
tidak saja karena teori ini secara luas digunakan oleh para sosiolog untuk
menganalisis berbagai gejala, proses, dan interaksi sosial yang terjadi di
masyarakat modern; tetapi juga karena kebijakan pendidikan di Indonesia cukup
lama mengikuti berbagai asumsi teori-teori tersebut, terutama teori struktural
fungsional tersebut.
Asumsi dasar yang diusung teori struktural fungsional ini adalah
pandangan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa
unsur dan elemen-elemen yang saling berkaitan, seperti agama, pendidikan,
struktur politik, ekonomi, keluarga dan sebagainya. Bagi teori ini, jika salah
satu dari unsur atau elemen masyarakat itu berubah, maka unsur dan elemen-elemen
lainnya pun mesti dan harus ikut berubah. Jadi yang dikedepankan adalah
integrasi, stabilitasi, dan konsensus (Parelius & Parelius, 1987:14).
Itulah sebabnya teori ini juga sering disebut dengan teori konsensus atau teori
keseimbangan (Adiwikarta, 1988:20).
Proses pembangunan nasional di Indonesia, khususnya pada masa
pemerintahan Orde Baru yang menekankan pada upaya penciptaan stabilitas
nasional, harminisasi, dan integrasi sosial sambil menekan sedemikian rupa
kemungkinan terjadinya goncangan, konflik, dan disintegrasi sosial, merupakan
bukti betapa kuatnya pengaruh teori struktural fungsional dalam proses
pembangunan, termasuk pembangunan bidang pendidikan. Untuk mewujudkan proses
pembangunan nasional seperti itu, pemerintah mendesain instrumen pendidikan,
agar proses-proses pendidikan tidak mengarah pada munculnya goncangan, konflik,
dan disintegrasi sosial. Dengan cara itu, pemerintah sekaligus berupaya untuk
melanggengkan proses pewarisan dan transmisi nilai-nilai sosial. Namun
demikian, teori struktural fungsional ternyata masih menyisakan sejumlah
persoalan besar, yaitu kelalaiannya untuk menyadari realitas masyarakat sosial
lain yang termarginalisasi, tertindas, dan tereksploitasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil rumusan masalahnya yaitu:
- Apa pengertian teori?
- Bagaimana penjalasan teori struktural-fungsional?
- Bagaimana penjalasan teori konflik?
- Bagaimana penjalasan teori interaksi simbolik?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di
atas, maka tujuan penulisan yaitu:
- Untuk mengetahui pengertian teori,
- Untuk mengetahui teori struktural-fungsional,
- Untuk mengetahui teori konflik,
- Untuk mengetahui teori interaksi simbolik.
D. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan makalah ini
terbagi dalam beberapa bab dan sub bab, penulis akan menguraikan sistematika
penulisan makalah ini sebagai berikut:
Bab I. bab ini merupakan bab pendahuluan.
Bab II. bab ini membahas “Landasan
Teoritik Sosiologi Pendidikan Islam” dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.
Bab III. bab ini kesimpulan dari pembahasan.
BAB II
LANDASAN TEORITIK SOSIOLOGI PENDIDIKAN
ISLAM
A. Pengertian Teori
Teori adalah serangkaian bagian atau
variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah
pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar
variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan
fenomena alamiah.[2]
Teori
ialah dalil, ilmu pasti, ajaran atau paham/pandangan tentang sesuatu
berdasarkan kekuatan akal/rasio, patokan dasar atau garis-garis dasar ilmu
pengetahuan, pedoman praktek.[3]
Teori adalah sekumpulan pernyataan yang
mempunyai kaitan logis yang merupakan cerminan dan kenyataan yang ada mengenai
sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda.
Teori adalah
seperangkat konsep/konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan
hubungan sistimatis suatu fenomena, dengan cara memerinci hubungan
sebab-akibat yang terjadi.[4]
Pengertian teori menurut beberapa ahli yaitu:
1. Labovitz dan Hagedorn
Teori sebagai ide
pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan”
bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling
berhubungan.
2. Emory – Cooper...........................................................................................................
Teori merupakan suatu kumpulan konsep, definisi, proposisi, dan variable yang berkaitan satu sama lain secara sistematis dan telah digeneralisasikan , sehingga dapat menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena (fakta-fakta) tertentu.[5]
Teori merupakan suatu kumpulan konsep, definisi, proposisi, dan variable yang berkaitan satu sama lain secara sistematis dan telah digeneralisasikan , sehingga dapat menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena (fakta-fakta) tertentu.[5]
3. Kneller
Teori mempunyai dua
pengertian yang pertama, bahwa teori itu empiris, dalam
arti sebagai suatu hasil pengujian terhadap hipotesisi dengan melalui observasi
dan eksprimen. Kedua, teori dapat diperoleh melalui berpikir sistematis spekulatif, dengan
metode deduktif. Kneller mengemukakan bahwa
teori ini merupakan “a set of koherent thounght”, seperangkat berpikir koheren,
yang sesuai dengan koherensi tentang kebenaran. [6]
4. Ismaun
Mengemukakan
bahwa teori adalah pernyataan yang berisi kesimpulan tentang adanya keteraturan
subtantif.………………………………………………..
5. Jonathan H. Turner………………………………………………………………...
Teori adalah sebuah proses mengembangkan ide-ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi.[7] ……
5. Jonathan H. Turner………………………………………………………………...
Teori adalah sebuah proses mengembangkan ide-ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi.[7] ……
……………….
B. Teori Struktural-Fungsional
Teori fungsional dan
struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori
umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah
adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang
berada di luar diri pengamat.
Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur.[8]…………………….
Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.……………
Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut, sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan misalnya. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan.[9]………………………………………………….
Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur.[8]…………………….
Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.……………
Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut, sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan misalnya. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan.[9]………………………………………………….
Menurut Michael J. Jucius
(dalam Soesanto, 1974:57) mengungkapkan bahwa fungsi sebagai aktivitas yang
dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai apa yang diinginkan. Michael
J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada aktivitas manusia dalam
mencapai tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam batasan yang lebih
lengkap, tidak hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi juga
memperhatikan terhadap nilai (value) dan menghargai nilai serta memeliharanya
dan meningkatkan nilai tersebut. Berbicara masalah nilai sebagaimana dimaksud
oleh Viktor, nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan fungsi dan
aktivitas dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda
lain melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia
dalam melaksanakan fungsinya tersebut. Demikian pula fungsi komunikasi dan
fungsi politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya manusia. Hal ini disebabkan
karena, baik komunikasi maupun politik, keduanya merupakan usaha manusia dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya.[10]
Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur menurut SP. Varma menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi. Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur politik.[11]
Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran Young dan Robert K. Merton, serta pengertian struktur oleh SP. Varma, maka fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fungsi komunikasi politik sebagai salah satu fungsi input dalam sistem politik. Sementara struktur yang dimaksud adalah Partai Persatuan Pembangunan sebagai salah satu bagian dari infrastruktur dalam sistem politik. Selain fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi sosialisasi politik, fungsi partisipasi politik dan rekruitmen politik, fungsi lain yang harus dijalankan oleh partai politik sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi komunikasi politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai politik menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi tersebut.
Studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer. Pendekatan ini memiliki asal-usul sosiologi dalam karya penemunya, yaitu Auguste Comte. Menurut Comte, sosiologi adalah studi tentang strata sosial (struktur) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Di dalam membahas struktur masyarakat, Comte menerima premis bahwa ”masyarakat adalah laksana organisme hidup”, akan tetapi dia tidak benar-benar berusaha untuk mengembangkan tesis ini. Seorang ahli sosiologi Inggris dari pertengahan abad ke-19 Herbert Spencer, membahas lebih lanjut berbagai perbedaan dan kesamaan yang khusus antara sistem biologis dan sistem sosial.[12] Pembahasan Spencer tentang masyarakat sebagai suatu organisme hidup (1895: 436-506) dapat diringkas sebagai berikut:
Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur menurut SP. Varma menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi. Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur politik.[11]
Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran Young dan Robert K. Merton, serta pengertian struktur oleh SP. Varma, maka fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fungsi komunikasi politik sebagai salah satu fungsi input dalam sistem politik. Sementara struktur yang dimaksud adalah Partai Persatuan Pembangunan sebagai salah satu bagian dari infrastruktur dalam sistem politik. Selain fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi sosialisasi politik, fungsi partisipasi politik dan rekruitmen politik, fungsi lain yang harus dijalankan oleh partai politik sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi komunikasi politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai politik menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi tersebut.
Studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer. Pendekatan ini memiliki asal-usul sosiologi dalam karya penemunya, yaitu Auguste Comte. Menurut Comte, sosiologi adalah studi tentang strata sosial (struktur) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Di dalam membahas struktur masyarakat, Comte menerima premis bahwa ”masyarakat adalah laksana organisme hidup”, akan tetapi dia tidak benar-benar berusaha untuk mengembangkan tesis ini. Seorang ahli sosiologi Inggris dari pertengahan abad ke-19 Herbert Spencer, membahas lebih lanjut berbagai perbedaan dan kesamaan yang khusus antara sistem biologis dan sistem sosial.[12] Pembahasan Spencer tentang masyarakat sebagai suatu organisme hidup (1895: 436-506) dapat diringkas sebagai berikut:
1.Masyarakat
maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan;
2.
Disebabkan oleh pertumbuhan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social
body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan
pula, di mana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula
bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin
kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar. Binatang yang lebih kecil,
misalnya bagian yang dapat dibedakan bila dibanding dengan makhluk yang lebih
sempurna, misalnya manusia;
3. Tiap
bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial
memiliki fungsi dan tujuan tertentu; ”mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda
dengan tugas yang berbeda pula”. Pada manusia, hati memiliki struktur dan
memiliki fungsi yang berbeda dengan paru-paru; demikian pula dengan partai
politik sebagai struktur institusional memiliki struktur dan fungsi serta
tujuan yang berbeda dalam sistem politik, sistem budaya dan atau sistem
ekonomi;
4. Baik
di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian
akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem
secara keseluruhan. Misalnya perubahan sistem politik dari suatu pemerintahan
demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga, pendidikan,
agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu sama lain;
5. Bagian-bagian tersebut, walaupun saling berkaitan, merupakan suatu
struktur-mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka sistem
peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis
biologi dan medis, seperti halnya sistem politik atau sistem ekonomi merupakan
sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi.[13]
Dengan hati-hati Spencer menegaskan bahwa apa yang diketengahkan itu hanyalah
merupakan subuah model atau analogi yang seharusnya tidak diterima begitu saja.
Masyarakat tidak benar-benar mirip dengan organisme hidup; di antara kedua hal
itu terdsapat sebuah perbedaan yang sangat penting. Di dalam sistem organisme,
bagian-bagian tersebut saling terkait dalam suatu hubungan yang intim;
sedangkan dalam sistem sosial hubungan yang sangat dekat seperti itu tidak
begitu jelas terlihat, dengan bagian-bagian yang kadang-kadang sangat terpisah.
Asumsi dasar sosiologi dari pemikiran kaum fungsionalis bermula dari Comte dan
dilanjutkan dalam karya Spencer, ialah bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai
suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung satu sama
lain. Demikian pula dengan partai politik, merupakan satu kesatuan dalam sistem
yang terdiri dari difusi-difusi atau bagian-bagian yang saling berkaitan dan
ketergantungan satu sama lain, tidak berfungsinya satu difusi akan
mengakibatkan disfungsional pada difusi lain. Kegagalan suatu partai sebagai
sebuah sistem organisasi dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan ditengarai
tidak atau adanya salah satu atau beberapa bagian penting yang fungsional
sehingga membuat yang lain disfungsional dan menyebabkan kefatalan secara
keseluruhan, sebagai konsekuensinya kegagalan mencapai tujuan partai yaitu
menjadi pemenang dalam pemilu atau memperoleh dukungan suara terbanyak dari
konstituen.[14]…………..
Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan.[15] Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.……………………
Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan.[15] Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.……………………
Istilah teori Struktural
fungsional dikenal juga dengan teori fungsionalisme dan fungsionalisme
struktural.[16]
Istilah Struktural Fungsional dalam teorinya menekankan pada keteraturan
(orde). Dalam teori ini, masyarakat dipandang sebagai suatu system social (social
system) yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam
keseimbangan. Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap tatanan (struktur) dalam
sistem sosial akan berfungsi pada yang lain, sehingga bila fungsional yang
tidak ada, maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.
Semua tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dalam arti demikian,
maka teori ini cenderung memusatkan kajiannya pada fungsi dari suatu fakta
sosial (social fact) terhadap fakta sosial lain.
Dari ulasan diatas, jelas bahwa
teori struktural fungsional berpandangan terhadap segala pranata sosial yang
ada dalam masyarakat serba fungsional, baik yang dinilai positif maupun
negatif. Misalkan kasus kemiskinan,
adalah gejala sosial dalam suatu
sistem sosial yang fungsional bagi si
kaya, karena dengan si miskin mereka dapat memanfaatkan tenaganya.
Dari uraian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa teori struktural fungsional mempunyai premis sebagai berikut:
1. Masyarakat adalah suatu system yang secara
keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Keseluruhan
system yang utuh menentukan bagian-bagian. Artinya, bagian yang satu tidak
dipahami secara parsial dan terpisah kecuali dengan mempertahankan hubungan dengan
system keseluruhan yang lebih luas.
2.
Bagian-bagian harus dipahami dalam kaitannya dengan fungsinya terhadap
keseimbangan sistem
keseluruhan, sehingga bagian-bagian tersebut menunjukkan gejala saling
tergantung dan saling mendukung untuk memelihara keutuhan system.
3. Tiap-tiap
masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat
dan mantap, berintegrasi satu sama lain dengan baik. Orang lebih banyak bekerja
sama dari pada menentang, biarpun telah terjadi pergantian dari pemerintah yang
lama ke yang baru.
4.
Tiap-tiap masyarakat mempunyai fungsi dalam rangka mewujudkan ketahanan dan
kelestarian sistem. Hal ini
karena dilatarbelakangi oleh suatu kesesuaian faham (consensus) diantara
anggotanya mengenai nilai-nilai tertentu.[17]
Comte berpendapat bahwa sosiologi adalah studi tentang strata sosial
(struktur) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Didalam membahas struktur
masyarakat disebutkan bahwa masyarakat adalah organisme hidup.[18]
C. Teori Konflik
Teori
konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi
melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi
akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan
kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi
sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Teori konflik muncul
sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran
yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah
pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik
mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural
fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas
dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi
ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia
hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin
sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial
hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam
proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis
dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa
adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis
mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan
tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis
terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik
merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural
fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik
melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa
di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya
dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi,
dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai
otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan
superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi
dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.[19]
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya
perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan
sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik
melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan.
Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan
bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga
terciptalah suatu konsensus[20].
Teori
konflik menyatakan bahwa barang yang berharga, seperti kekuasaan tidak dapat
dibagi rata diantara rakyat.[21] Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan
“paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena
adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan
dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang
berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A.
Coser dan Ralf Dahrendorf. Selama lebih
dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan
tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa
model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan
beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda
(teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada
kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.………………………………………………
Akan tetapi para ahli
sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka
melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk
menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu
membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser
mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.[22]
Seperti halnya Simmel, Coser
tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena
sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori
sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature
(sesuatu yang sia- sia. Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar
Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan
pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan
bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat
ditempatkan. Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut:
1. Simmel
memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam
masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai
proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun
dapat dibedakan dalam analisis.
2. Menurut
Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan
memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana
konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif
akan memperlemah kerangka masyarakat.[23]
Konflik dapat merupakan proses
yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan
struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial
sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi
suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya,
pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik-
praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang
berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan
wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah
telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel. Coser melihat katup
penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang
tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan
semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme
khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan
konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa
tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.[24]
D. Teori Interaksi
Simbolik
Sejarah
Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead
membuat pemikiran orisinal yang merupakan
cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”. Dikarenakan Mead tinggal
di Chicago selama lebih kurang 37 tahun, maka perspektifnya seringkali disebut sebagai Mahzab
Chicago.
Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non
verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan
kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam
suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting.
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan
oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut.
Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat
mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya
dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang
lain.[25]
Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide
dasar dari interaksi simbolik adalah:
1.
Mind
(pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai
makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus
mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan
individu lain.
2.
Self
(diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu
dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan
teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam
teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.[26]
3.
Society
(masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun,
dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat,
dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang
mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya
mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di
tengah masyarakatnya.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi
simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi
perilaku manusia
Tema ini berfokus pada pentingnya
membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori
interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses
komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya,
sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif
oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan
makna yang dapat disepakati secara bersama dimana
asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut : Manusia, bertindak, terhadap,
manusia, lainnya berdasarkan makna yang
diberikan orang lain kepada mereka, Makna
diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses
interpretif.[27]
2. Pentingnya konsep mengenai diri
(self concept)
Tema ini berfokus pada pengembangan
konsep diri melalui individu tersebut secara aktif,
didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya
dengan cara antara lain : Individu-individu mengembangkan konsep diri
melalui nteraksi dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang penting
untuk perilaku.[28]
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat
Tema ini berfokus pada dengan hubungan
antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana
norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya,
tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan
pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus
dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai
keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.
Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah :
Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi social.
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan
interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran
Mead terpecah menjadi dua Mahzab, dimana kedua mahzab
tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu:
1. Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer
: Blummer memberikan pengembangan dalam pikiran-pikiran mead menjadi tujuh buah asumsi yang mempelopori pergerakan
mazhab Chicago baru.
Tujuh asumsi tersebut adalah:
Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan
orang lain pada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna
dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif, Individu-individu mengembangkan
konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, Konsep diri memberikan sebuah
motif penting untuk berperilaku, Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh
proses budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi social.[29]
2. Mahzab Iowa yang dipelopori oleh
Manfred Kuhn dan Kimball Young
Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford
kuhn dan mahasiswanya, dengan melakukan pendekatan
kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut tradisi
epistemologi dan metodologi post- positivis yang
mengambil dua langkah cara pandang baru yang tidak
terdapat pada teori sebelumnya, yaitu memperjelas konsep
diri menjadi bentuk yang lebih kongkrit.[30]
Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend, Herbert
Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik
menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi symbol. Manusia berinteraksi
dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas
simbol tersebut. Asumsi-asumsi: a. Masyarakat terdiri dari manusia yang
berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk organisasi. b. Interaksi
simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah
mencangkup stimulus respon yang sederhana.
Prespektif interaksi simbolik, perilaku manusia harus di pahami dari
sudut pandang subyek. Dimana teoritis interaksi simbolik ini memandang bahwa
kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan
simbol-simbol, (D.Mulyana, 2001: 70). Inti pada penelitian ini adalah
mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan simbol-simbol yang
merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi dengan
sesame.
Penggunaan simbol yang dapat menunjukkan sebuah makna tertentu, bukanlah
sebuah proses yang interpretasi yang diadakan melalui sebuah persetujuan resmi,
melainkan hasil dari proses interaksi social.[31]
Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat
pada objek, melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa. Negosiasi itu
dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek
fisik, tindakan atau peristiwa ( bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan
atau peristiwa itu).(Arnold M Rose 1974:143 dalam D.Mulyana 2001:72).[32]
Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas karena peranan individu
yang melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial
selalu merespon lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial
(perilaku manusia) yang kemudian memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang
mereka hasilkan bukan berasal dari faktor eksternal ataupun didapat dari proses
mekanis, namun lebih bergantung dari bagaimana individu tersebut mendefinisikan
apa yang mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yang dapat
memberikan pemaknaan dan melakukan respon dalam kehidupan sosialnya.
Namun, makna yang merupakan hasil interpretasi individu dapat berubah
dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan dari faktor-faktor yang berkaitan
dengan bentuk fisik (benda) ataupun tujuan (perilaku manusia) memungkinkan
adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal tersebut didukung
pula dengan faktor bahwa individu mampu melakukan proses mental, yakni
berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud
proses membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu
dapat melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari dan memikirkan
alternatif kata yang akan ia ucapkan.
Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang
baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad
ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik
terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak
langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif
interaksional (Ardianto. 2007: 40).[33]
Interaksi
simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan
salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana,
perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya
nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada
selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di
dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di
tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah
pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan
bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah
satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran
interaksionisme simbolik.[34]
Teori
interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta
inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto.
2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang
mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting
dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu
adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan
dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang
lain.
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993)dalam West- Turner (2008:
96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka
referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan
orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.[35]
Herbert Blumer (1962), tokoh modern interaksionesme
simbolik menjelaskannya, istilah interaksionesme simbolik menunjuk sifat khas
dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah manusia saling menerjemahkan
dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari
tindakan seseorang terhadap orang lain.[36]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awal abad 20, sosiologi mempunyai peranan penting dalam pemikiran
pendidikan, sehingga lahirlah sosiologi pendidikan. Sosiologi pendidikan adalah
sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang
fundamental.
Fenomena perubahan sosial kehidupan
masyarakat cukup kompleks. Fenomena sosial yang ada seringkali mengacu pada
adanya indikasi-indikasi yang rentan sekali melahirkan perbedaan dan
bahkan perselisihan dalam hal persepsi
dan interpretasi. Hal ini dikarenakan persoalan kemanusiaan sangat erat
hubungannya dengan perubahan dan perkembangan sosial.
Teori adalah serangkaian bagian atau
variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah
pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar
variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan
fenomena alamiah.
Teori
ialah dalil, ilmu pasti, ajaran atau paham/pandangan tentang sesuatu
berdasarkan kekuatan akal/rasio, patokan dasar atau garis-garis dasar ilmu
pengetahuan, pedoman praktek.
Teori fungsional dan struktural adalah
salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general
theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan
pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri
pengamat.
Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem.
Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem.
Teori
konflik menyatakan bahwa barang yang berharga, seperti kekuasaan tidak dapat
dibagi rata diantara rakyat. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan
“paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena
adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya
dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang
berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A.
Coser dan Ralf Dahrendorf.
Herbert Blumer (1962), tokoh modern interaksionesme
simbolik menjelaskannya, istilah interaksionesme simbolik menunjuk sifat khas
dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah manusia saling menerjemahkan
dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari
tindakan seseorang terhadap orang lain.
B. Saran-saran
Dalam pembahasan makalah ini, penulis
menyarankan beberapa hal di antaranya ialah:
a.
Penulis berharap setelah membahas makalah ini yang
membahas “Landasan Teoritik Sosiologi Pendidikan Islam” dan hal-hal yang
berkaitan dengannya bisa menambah ilmu pengetahuan kepada semua pembaca makalah
ini.
b.
Hendaklah makalah ini dapat di kaji lagi lebih
mendalam oleh para pembaca.
c.
Penulis berharap mendapat masukan yang dapat membangun semangat kita
untuk lebih giat lagi dalam menuntut ilmu sebagai bekal untuk menuju kehidupan
yang lebih bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, (2004). Sosiologi pendidikan. Cetakan
II. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Burhani, Kamus Ilmiah Populer.
Jombang: Lintas Media.
Imam B. Jauhari (2011). Teori
Sosial. Jember: Pustaka Pelajar.
Karet. J. Veegen
MSC. MA. (1993). Cetakan II. Pengantar
Sosial. Jakarta: PT Gramedia.
[1]Drs. H. Abu
Ahmadi, (2004). Sosiologi pendidikan. Cetakan II. Jakarta: PT Rineka Cipta. Halaman 1.
[2] http://putama.blogspot.com/2012/11/pengertian-teori.html
[3]Burhani, Kamus Ilmiah Populer. Jombang: Lintas Media.
Halaman 648.
[4]
http://putama.blogspot.com/2012/11/pengertian-teori.html
[5]Ibid.
[6] http://putama.blogspot.com/2012/11/pengertian-teori.html
[7]
Ibid.
[8]
:\New Folder\New
Folder\teori-sosiologi-struktural-fungsional.html
[9]
Ibid.
[10] :\New Folder\New
Folder\teori-sosiologi-struktural-fungsional.html
[11]
Ibid.
[12]
:\New Folder\New
Folder\teori-sosiologi-struktural-fungsional.html
[13]
:\New Folder\New
Folder\teori-sosiologi-struktural-fungsional.html
[14]
:\New Folder\New
Folder\teori-sosiologi-struktural-fungsional.html
[15]
Ibid.
[17]Muhammad
Yazid,www.geocities.com/ 2008
[20]
Ibid.
[24]
Ibid.
[25]
F:\New Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[26]
Ibid.
[27]F:\New
Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[28]
Ibid.
[29]
F:\New Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[30]
Ibid.
[31]F:\New
Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[32]Ibid.
[33]F:\New
Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[34]
Ibid.
[35]
F:\New Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[36] Imam B.
Jauhari (2011). Teori Sosial. Jember: Pustaka Pelajar. Halaman 124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar