Minggu, 03 November 2013

SISIOLOGI PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

   Pada awal abad 20, sosiologi mempunyai peranan penting dalam pemikiran pendidikan, sehingga lahirlah sosiologi pendidikan. Sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.[1]  
Fenomena perubahan sosial kehidupan masyarakat cukup kompleks. Fenomena sosial yang ada seringkali mengacu pada adanya indikasi-indikasi yang rentan sekali melahirkan perbedaan dan bahkan  perselisihan dalam hal persepsi dan interpretasi. Hal ini dikarenakan persoalan kemanusiaan sangat erat hubungannya dengan perubahan dan perkembangan sosial.
Manusia senantiasa membutuhkan satu sama lain untuk kelangsungan hidup dan mempertahankan predikatnya sebagai manusia. Wujud dari itu akan melahirkan ketergantungan yang pada akhirnya mendatangkan sebuah bentuk kerjasama, berlangsung dalam rentang waktu yang tak terbatas. Dari interaksi-interaksi tersebut pada akhirnya akan melahirkan sebuah bentuk masyarakat yang beraneka ragam, baik dari segi struktur, politik maupun sosialnya. Ini adalah sebuah keniscayaan, karena sejak kehadirannya, mereka telah dianugerahi  gelar sebagai makhluk sosial.
Dalam kerangka premis tersebut, berbagai usaha telah dilakukan, bahkan ada sebagian yang terkesan berlebihan dalam mengkaji dan mengadakan penelitian sosial. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan waktu, sampai saat ini belum selesai perjalanan menemukan sebuah teori kehidupan sosial yang mapan dan jitu, kendati telah banyak teori yang kita telah pelajari.
Selama ini, teori struktural fungsional cukup dominan dalam berbagai kajian sosiologi, termasuk kajian-kajian dalam upaya memahami, menjelaskan, dan menganalisis kebijaksanaan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Dominasi teori stutktural fungsional dalam kajian sosiologi pendidikan di Tanah Air, tidak saja karena teori ini secara luas digunakan oleh para sosiolog untuk menganalisis berbagai gejala, proses, dan interaksi sosial yang terjadi di masyarakat modern; tetapi juga karena kebijakan pendidikan di Indonesia cukup lama mengikuti berbagai asumsi teori-teori tersebut, terutama teori struktural fungsional tersebut. 
Asumsi dasar yang diusung teori struktural fungsional ini adalah pandangan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa unsur dan elemen-elemen yang saling berkaitan, seperti agama, pendidikan, struktur politik, ekonomi, keluarga dan sebagainya. Bagi teori ini, jika salah satu dari unsur atau elemen masyarakat itu berubah, maka unsur dan elemen-elemen lainnya pun mesti dan harus ikut berubah. Jadi yang dikedepankan adalah integrasi, stabilitasi, dan konsensus (Parelius & Parelius, 1987:14). Itulah sebabnya teori ini juga sering disebut dengan teori konsensus atau teori keseimbangan (Adiwikarta, 1988:20).
Proses pembangunan nasional di Indonesia, khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru yang menekankan pada upaya penciptaan stabilitas nasional, harminisasi, dan integrasi sosial sambil menekan sedemikian rupa kemungkinan terjadinya goncangan, konflik, dan disintegrasi sosial, merupakan bukti betapa kuatnya pengaruh teori struktural fungsional dalam proses pembangunan, termasuk pembangunan bidang pendidikan. Untuk mewujudkan proses pembangunan nasional seperti itu, pemerintah mendesain instrumen pendidikan, agar proses-proses pendidikan tidak mengarah pada munculnya goncangan, konflik, dan disintegrasi sosial. Dengan cara itu, pemerintah sekaligus berupaya untuk melanggengkan proses pewarisan dan transmisi nilai-nilai sosial. Namun demikian, teori struktural fungsional ternyata masih menyisakan sejumlah persoalan besar, yaitu kelalaiannya untuk menyadari realitas masyarakat sosial lain yang termarginalisasi, tertindas, dan tereksploitasi.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil rumusan masalahnya yaitu:
  1. Apa pengertian teori?
  2. Bagaimana penjalasan teori struktural-fungsional?
  3. Bagaimana penjalasan teori konflik?
  4. Bagaimana penjalasan teori interaksi simbolik?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan yaitu:
  1. Untuk mengetahui pengertian teori,
  2. Untuk mengetahui teori struktural-fungsional,
  3. Untuk mengetahui teori konflik,
  4. Untuk mengetahui teori interaksi simbolik.

D. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan makalah ini terbagi dalam beberapa bab dan sub bab, penulis akan menguraikan sistematika penulisan makalah ini sebagai berikut:
Bab I. bab ini merupakan bab pendahuluan.
Bab II. bab ini membahas “Landasan Teoritik Sosiologi Pendidikan Islam  dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Bab III. bab ini kesimpulan dari pembahasan.





BAB II
LANDASAN TEORITIK SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Teori
            Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.[2] 
Teori ialah dalil, ilmu pasti, ajaran atau paham/pandangan tentang sesuatu berdasarkan kekuatan akal/rasio, patokan dasar atau garis-garis dasar ilmu pengetahuan, pedoman praktek.[3]    
            Teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis yang merupakan cerminan dan kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda.
            Teori adalah seperangkat konsep/konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistimatis suatu fenomena, dengan cara memerinci hubungan  sebab-akibat yang terjadi.[4]
            Pengertian teori menurut beberapa ahli yaitu:
1. Labovitz dan Hagedorn
            Teori sebagai ide pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan” bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling berhubungan.
2. Emory – Cooper...........................................................................................................
            Teori merupakan suatu kumpulan konsep, definisi, proposisi, dan variable yang berkaitan satu sama lain secara sistematis dan telah digeneralisasikan , sehingga dapat menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena (fakta-fakta) tertentu.[5]
3. Kneller
            Teori mempunyai dua pengertian yang pertama, bahwa teori itu empiris, dalam arti sebagai suatu hasil pengujian terhadap hipotesisi dengan melalui observasi dan eksprimen. Kedua, teori dapat diperoleh melalui berpikir sistematis spekulatif, dengan metode deduktif. Kneller mengemukakan bahwa teori ini merupakan “a set of koherent thounght”, seperangkat berpikir koheren, yang sesuai dengan koherensi tentang kebenaran. [6] 
4. Ismaun
            Mengemukakan bahwa teori adalah pernyataan yang berisi kesimpulan tentang adanya keteraturan subtantif.………………………………………………..
5. Jonathan H. Turner
………………………………………………………………...
            Teori adalah sebuah proses mengembangkan ide-ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi.[7]
……
……………….
B. Teori Struktural-Fungsional

Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat.
Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau ‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur.[8]…………………….
       Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.
……………
       Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut, sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan misalnya. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan.[9]
………………………………………………….
Menurut Michael J. Jucius (dalam Soesanto, 1974:57) mengungkapkan bahwa fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai apa yang diinginkan. Michael J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada aktivitas manusia dalam mencapai tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam batasan yang lebih lengkap, tidak hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi juga memperhatikan terhadap nilai (value) dan menghargai nilai serta memeliharanya dan meningkatkan nilai tersebut. Berbicara masalah nilai sebagaimana dimaksud oleh Viktor, nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan fungsi dan aktivitas dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia dalam melaksanakan fungsinya tersebut. Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya manusia. Hal ini disebabkan karena, baik komunikasi maupun politik, keduanya merupakan usaha manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.[10]
       Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur menurut SP. Varma menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi. Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur politik.[11]
      
Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran Young dan Robert K. Merton, serta pengertian struktur oleh SP. Varma, maka fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fungsi komunikasi politik sebagai salah satu fungsi input dalam sistem politik. Sementara struktur yang dimaksud adalah Partai Persatuan Pembangunan sebagai salah satu bagian dari infrastruktur dalam sistem politik. Selain fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi sosialisasi politik, fungsi partisipasi politik dan rekruitmen politik, fungsi lain yang harus dijalankan oleh partai politik sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi komunikasi politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai politik menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi tersebut.
       Studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer. Pendekatan ini memiliki asal-usul sosiologi dalam karya penemunya, yaitu Auguste Comte. Menurut Comte, sosiologi adalah studi tentang strata sosial (struktur) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Di dalam membahas struktur masyarakat, Comte menerima premis bahwa ”masyarakat adalah laksana organisme hidup”, akan tetapi dia tidak benar-benar berusaha untuk mengembangkan tesis ini. Seorang ahli sosiologi Inggris dari pertengahan abad ke-19 Herbert Spencer, membahas lebih lanjut berbagai perbedaan dan kesamaan yang khusus antara sistem biologis dan sistem sosial.[12] Pembahasan Spencer tentang masyarakat sebagai suatu organisme hidup (1895: 436-506) dapat diringkas sebagai berikut:
1.Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan;
2. Disebabkan oleh pertumbuhan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula, di mana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar. Binatang yang lebih kecil, misalnya bagian yang dapat dibedakan bila dibanding dengan makhluk yang lebih sempurna, misalnya manusia;
3. Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu; ”mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula”. Pada manusia, hati memiliki struktur dan memiliki fungsi yang berbeda dengan paru-paru; demikian pula dengan partai politik sebagai struktur institusional memiliki struktur dan fungsi serta tujuan yang berbeda dalam sistem politik, sistem budaya dan atau sistem ekonomi;
4. Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan. Misalnya perubahan sistem politik dari suatu pemerintahan demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga, pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu sama lain;
5. Bagian-bagian tersebut, walaupun saling berkaitan, merupakan suatu struktur-mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka sistem peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis biologi dan medis, seperti halnya sistem politik atau sistem ekonomi merupakan sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi.[13]
       Dengan hati-hati Spencer menegaskan bahwa apa yang diketengahkan itu hanyalah merupakan subuah model atau analogi yang seharusnya tidak diterima begitu saja. Masyarakat tidak benar-benar mirip dengan organisme hidup; di antara kedua hal itu terdsapat sebuah perbedaan yang sangat penting. Di dalam sistem organisme, bagian-bagian tersebut saling terkait dalam suatu hubungan yang intim; sedangkan dalam sistem sosial hubungan yang sangat dekat seperti itu tidak begitu jelas terlihat, dengan bagian-bagian yang kadang-kadang sangat terpisah. Asumsi dasar sosiologi dari pemikiran kaum fungsionalis bermula dari Comte dan dilanjutkan dalam karya Spencer, ialah bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain. Demikian pula dengan partai politik, merupakan satu kesatuan dalam sistem yang terdiri dari difusi-difusi atau bagian-bagian yang saling berkaitan dan ketergantungan satu sama lain, tidak berfungsinya satu difusi akan mengakibatkan disfungsional pada difusi lain. Kegagalan suatu partai sebagai sebuah sistem organisasi dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan ditengarai tidak atau adanya salah satu atau beberapa bagian penting yang fungsional sehingga membuat yang lain disfungsional dan menyebabkan kefatalan secara keseluruhan, sebagai konsekuensinya kegagalan mencapai tujuan partai yaitu menjadi pemenang dalam pemilu atau memperoleh dukungan suara terbanyak dari konstituen.[14]…………..
       Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan.[15] Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.
……………………
Istilah teori Struktural fungsional dikenal juga dengan teori fungsionalisme dan fungsionalisme struktural.[16] Istilah Struktural Fungsional dalam teorinya menekankan pada keteraturan (orde). Dalam teori ini, masyarakat dipandang sebagai suatu system social (social system) yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap tatanan (struktur) dalam sistem sosial akan berfungsi pada yang lain, sehingga bila fungsional yang tidak ada, maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Semua tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dalam arti demikian, maka teori ini cenderung memusatkan kajiannya pada fungsi dari suatu fakta sosial (social fact) terhadap fakta sosial lain.
            Dari ulasan diatas, jelas bahwa teori struktural fungsional berpandangan terhadap segala pranata sosial yang ada dalam masyarakat serba fungsional, baik yang dinilai positif maupun negatif.  Misalkan kasus kemiskinan, adalah gejala sosial dalam suatu sistem sosial  yang fungsional bagi si kaya, karena dengan si miskin mereka dapat memanfaatkan tenaganya.
            Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa teori struktural fungsional mempunyai premis sebagai berikut:
        1.  Masyarakat adalah suatu system yang secara keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Keseluruhan system yang utuh menentukan bagian-bagian. Artinya, bagian yang satu tidak dipahami secara parsial dan terpisah kecuali dengan mempertahankan hubungan dengan system keseluruhan yang lebih luas.
        2. Bagian-bagian harus dipahami dalam kaitannya dengan fungsinya terhadap keseimbangan sistem keseluruhan, sehingga bagian-bagian tersebut menunjukkan gejala saling tergantung dan saling mendukung untuk memelihara keutuhan system.
      3. Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap, berintegrasi satu sama lain dengan baik. Orang lebih banyak bekerja sama dari pada menentang, biarpun telah terjadi pergantian dari pemerintah yang lama ke yang baru.
       4. Tiap-tiap masyarakat mempunyai fungsi dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kelestarian sistem. Hal ini karena dilatarbelakangi oleh suatu kesesuaian faham (consensus) diantara anggotanya mengenai nilai-nilai tertentu.[17]
   Comte berpendapat bahwa sosiologi adalah studi tentang strata sosial (struktur) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Didalam membahas struktur masyarakat disebutkan bahwa masyarakat adalah organisme hidup.[18]

C. Teori Konflik

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional. 
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.[19]
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus[20].  
Teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga, seperti kekuasaan tidak dapat dibagi rata diantara rakyat.[21] Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.  Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.………………………………………………
Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisis konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.[22]
Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia. Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan. Penjelasan tentang teori knflik Simmel sebagai berikut:
1. Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisis.
2. Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.[23]
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.  Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel. Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.[24]

D. Teori Interaksi Simbolik

Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal yang merupakan cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”. Dikarenakan Mead tinggal di Chicago selama lebih kurang 37 tahun, maka perspektifnya seringkali disebut sebagai Mahzab Chicago.
Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting.
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.[25]
Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah:
1.            Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.
2.            Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.[26]
3.            Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia
Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut : Manusia, bertindak, terhadap, manusia, lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.[27]
2. Pentingnya konsep mengenai diri (self concept)
Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya dengan cara antara lain : Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui nteraksi dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.[28]
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat
Tema ini berfokus pada dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah : Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi social.
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab, dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu:
1. Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer : Blummer memberikan pengembangan dalam pikiran-pikiran mead menjadi tujuh buah asumsi yang mempelopori pergerakan mazhab Chicago baru.
Tujuh asumsi tersebut adalah:
Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif, Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku, Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi social.[29]
2. Mahzab Iowa yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young
Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford kuhn dan mahasiswanya, dengan melakukan pendekatan kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut tradisi epistemologi dan metodologi post- positivis yang mengambil dua langkah cara pandang baru yang tidak terdapat pada teori sebelumnya, yaitu memperjelas konsep diri menjadi bentuk yang lebih kongkrit.[30]
Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend, Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut. Asumsi-asumsi: a. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk organisasi. b. Interaksi simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah mencangkup stimulus respon yang sederhana.
Prespektif interaksi simbolik, perilaku manusia harus di pahami dari sudut pandang subyek. Dimana teoritis interaksi simbolik ini memandang bahwa kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol, (D.Mulyana, 2001: 70). Inti pada penelitian ini adalah mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi dengan sesame.
Penggunaan simbol yang dapat menunjukkan sebuah makna tertentu, bukanlah sebuah proses yang interpretasi yang diadakan melalui sebuah persetujuan resmi, melainkan hasil dari proses interaksi social.[31]
Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa ( bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu).(Arnold M Rose 1974:143 dalam D.Mulyana 2001:72).[32]
Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas karena peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) yang kemudian memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang mereka hasilkan bukan berasal dari faktor eksternal ataupun didapat dari proses mekanis, namun lebih bergantung dari bagaimana individu tersebut mendefinisikan apa yang mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yang dapat memberikan pemaknaan dan melakukan respon dalam kehidupan sosialnya.
Namun, makna yang merupakan hasil interpretasi individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan dari faktor-faktor yang berkaitan dengan bentuk fisik (benda) ataupun tujuan (perilaku manusia) memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal tersebut didukung pula dengan faktor bahwa individu mampu melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud proses membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu dapat melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari dan memikirkan alternatif kata yang akan ia ucapkan.
Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).[33]
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.[34]
Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993)dalam West- Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.[35]
Herbert Blumer (1962), tokoh modern interaksionesme simbolik menjelaskannya, istilah interaksionesme simbolik menunjuk sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain.[36]

















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada awal abad 20, sosiologi mempunyai peranan penting dalam pemikiran pendidikan, sehingga lahirlah sosiologi pendidikan. Sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
            Fenomena perubahan sosial kehidupan masyarakat cukup kompleks. Fenomena sosial yang ada seringkali mengacu pada adanya indikasi-indikasi yang rentan sekali melahirkan perbedaan dan bahkan  perselisihan dalam hal persepsi dan interpretasi. Hal ini dikarenakan persoalan kemanusiaan sangat erat hubungannya dengan perubahan dan perkembangan sosial.
            Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.
Teori ialah dalil, ilmu pasti, ajaran atau paham/pandangan tentang sesuatu berdasarkan kekuatan akal/rasio, patokan dasar atau garis-garis dasar ilmu pengetahuan, pedoman praktek.
          Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat.
Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem.
            Teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga, seperti kekuasaan tidak dapat dibagi rata diantara rakyat. Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf. 
Herbert Blumer (1962), tokoh modern interaksionesme simbolik menjelaskannya, istilah interaksionesme simbolik menunjuk sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain.

B. Saran-saran

Dalam pembahasan makalah ini, penulis menyarankan beberapa hal di antaranya ialah:
a.       Penulis berharap setelah membahas makalah ini yang membahas “Landasan Teoritik Sosiologi Pendidikan Islam” dan hal-hal yang berkaitan dengannya bisa menambah ilmu pengetahuan kepada semua pembaca makalah ini.
b.      Hendaklah makalah ini dapat di kaji lagi lebih mendalam oleh para pembaca.
c.       Penulis berharap mendapat  masukan yang dapat membangun semangat kita untuk lebih giat lagi dalam menuntut ilmu sebagai bekal untuk menuju kehidupan yang lebih bermakna.              





DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, (2004). Sosiologi pendidikan. Cetakan II. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Burhani, Kamus Ilmiah Populer. Jombang: Lintas Media.
Imam B. Jauhari (2011). Teori Sosial. Jember: Pustaka Pelajar. 
Karet. J. Veegen MSC. MA. (1993). Cetakan II. Pengantar Sosial. Jakarta: PT            Gramedia.  










[1]Drs. H. Abu Ahmadi, (2004). Sosiologi pendidikan. Cetakan II. Jakarta: PT Rineka Cipta. Halaman 1.
[2] http://putama.blogspot.com/2012/11/pengertian-teori.html
[3]Burhani, Kamus Ilmiah Populer. Jombang: Lintas Media. Halaman 648.
[4] http://putama.blogspot.com/2012/11/pengertian-teori.html
[5]Ibid.
[6] http://putama.blogspot.com/2012/11/pengertian-teori.html
[7] Ibid.
[8] :\New Folder\New Folder\teori-sosiologi-struktural-fungsional.html
[9] Ibid.
[10] :\New Folder\New Folder\teori-sosiologi-struktural-fungsional.html
[11] Ibid.
[12] :\New Folder\New Folder\teori-sosiologi-struktural-fungsional.html
[13] :\New Folder\New Folder\teori-sosiologi-struktural-fungsional.html
[14] :\New Folder\New Folder\teori-sosiologi-struktural-fungsional.html
[15] Ibid.
[16]Wahyu, makalah sosiologi pendidikan, 2006, halaman. 5..
[17]Muhammad Yazid,www.geocities.com/ 2008
[18]Margaret M,P, Sosiologi Kontemporer, penerbit; RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.  hal.23.
[20] Ibid.
[21] Karet. J. Veegen MSC. MA. (1993). Cetakan II. Pengantar Sosial. Jakarta: PT Gramedia. Hlm 92.
[24] Ibid.
[25] F:\New Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[26] Ibid.
[27]F:\New Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[28] Ibid.
[29] F:\New Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[30] Ibid.
[31]F:\New Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[32]Ibid.
[33]F:\New Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[34] Ibid.
[35] F:\New Folder\New Folder\teori-interaksi-simbolik.html
[36] Imam B. Jauhari (2011). Teori Sosial. Jember: Pustaka Pelajar. Halaman 124.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar