DOMINASI BARAT DAN RESPON UMAT ISLAM
1.
Bentuk-Bentuk
Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam (Termasuk Indonesia)
Negara-negara Barat seperti Inggris, Perancis, Spanyol,
Italia, Rusia dan lain-lain memang mempunyai tehnologi militer dan industri
perang yang lebih canggih dibandingkan dengan negara Islam, sehingga mereka
tidak segan-segan untuk menyerang dan mengalahkan wilayah-wilayah yang berada
di bawah kekuasaan Islam.
Dari awal penjajahan Barat yaitu perang salib umat Islam
telah kehilangan berbagai daerah yang semula telah dikuasai Islam, yang
kemudian jatuh ke tangan orang Kristen, yang sukar untuk dikembalikan kembali.
Jadi pada perang salib ini telah terjadi penaklukan dan penyerangan yang
dilakukan oleh negara Barat untuk merebut wilayah-wilayah kekuasaan Islam.
Tidak terhingga kerugian yang diakibatkan oleh penjajahan tersebut, baik
kerugian hasil budaya dan peradaban manusia maupun kerugian material maupun
korban jiwa. Penaklukan yang dilakukan oleh negara-negara Barat antara lain
adalah:
1820 Oman dan Qatar berada di bawah protektorat Inggris
1820 Oman dan Qatar berada di bawah protektorat Inggris
1830-1857
Penaklukan Aljazair oleh Perancis 1839
1881-1883
Tunisia diserbu Perancis
1882
Mesir diduduki Inggris
1898
Sudan ditaklukkan Inggris
1900
Chad diserbu Perancis
Pada
abad ke20 M Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Perancis memperebutkan
wilayah-wilayah di Afrika.
1960
Kesultanan muslim di Nigeria utara menjadi protektorat Inggris
1912-1913
Kesultanan Tripoli dan Cyrenaica diserbu Italia
1912
Marokko diserbu Perancis dan Spanyol
1914
Kuwait di bawah protektorat Inggris
1919-1921
Sisilia wilayah Turki diduduki Perancis
1920
Irak menjadi protektorat Inggris
1920
Syria dan Libanon di bawah mandat Perancis
1926-1927
Perebutan seluruh Somalia oleh Italia
Sementara itu, Rusia menggerogoti wilayah-wilayah muslim di
Asia Tengah, terutama setelah ia berhasil mengalahkan Turki Usmani yang
berakhir dengan Perjanjian San Stefano dan Perjanjian Berlin. Satu per satu
pula negeri-negeri muslim jatuh ke tangan Rusia, seperti tergambar dalam daftar
berikut:
1834-1859 Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia
1834-1859 Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia
1853-1865
Serbuan pertama Rusia di Khoakand dan jatuhnya Tashkent
1866-1872 Daerah-daerah sekitar Samarkand dan Bukhara ditaklukkan Rusia
1941-1946 Pendudukan Anglo Rusia di Iran.
1866-1872 Daerah-daerah sekitar Samarkand dan Bukhara ditaklukkan Rusia
1941-1946 Pendudukan Anglo Rusia di Iran.
Selain berupa penaklukan dan penyerangan negara-negara Barat
juga banyak melakukan penindasan, penghisapan dan perbudakan, yang sangat
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penindasan dilakukan kepada
wilayah-wilayah yang telah dikuasainya untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih
besar. Penghisapan terutama pada hasil bumi dan kekayaan alam negara yang
dijajahnya serta perbudakan banyak dialami oleh orang-orang Islam yang
wilayahnya telah jatuh ke tangan negara-negara Barat.
Pada tahun 1521 M, Spanyol datang ke Maluku dengan tujuan
dagang, yang kemudian disusul oleh Belanda, Inggris, Demark dan Perancis.
Belanda datang tahun 1595 M dan dengan segera memonopoli perdagangan di
Indonesia. Tentu kehadirannya ditantang oleh penduduk setempat. Oleh karena itu
seringkali terjadi peperangan antara Belanda dengan penduduk, walaupun akhirnya
peperangan dimenangkan oleh Belanda, yang terbesar diantaranya adalah perang
Aceh, perang Paderi di Minangkabau dan perang Diponegoro di Jawa.
2. Sumber permusuhan Islam dan Barat
Apa yang menjadi sumber permusuhan barat terhadap Islam
dewasa ini sehingga mereka mengerahkan segala upaya dan tipu daya untuk
menghancurkan Islam dan kaum muslim. Pada garis besarnya ada dua sebab:
a.
Dendam historis
Selama berabad-abad barat takluk di bawah hegemoni khilafah
Islam. Kebencian kaum Kristen barat pernah meledak dalam bentuk pengobaran api
perang terhadap umat Islam, yaitu dengan terjadinya perang salib (1096-1291M)
yang brtujuan utam penghancuran islam. Akan tetapi melalui peperangan tersebut
umat Islam gagal dilumpuhkan, bahkan kemenangan lebih banyak diraih oleh
pasukan Islam. Trauma perang tesebut berdampak pada tertanamnya rasa antipati
dan saling curiga di kedua belah pihak.
Perang salib membentuk fondasi pertama dan esensi untuk
menerapkan sikap Eropa (barat) terhadap Islam. Dendam perang salib tersebut
belum padam . kebencian dan permusuhan barat terhadap Islam itu muncul lagi ke
permukaan setalah Perang Dingin berakhir.
b. Kesalahpahaman Masyarakat Barat
Masyarakat barat umumnya melakukan kesalahan dalam memahami
Islam. Hal itu terjadi karena masyarakat Barat umumnya memepelajari dan
memahami Islam dari buku-buku para orientalis, sedangkan para orientalis
mengkaji Islam dengan tujuan utnuk menimbulkan miskonsepsi terhadap Islam,
selain adanya motif politis yaitu untuk mengetahui rahasia kekuatan Islam yang
tidak lepasa dari ambisi imperialis Barat untuk mengetahui dunia Islam. Umumnya
ketika berbicara mengenai Islam pandangan dan
analisis para orientalis tidak objektif dan tidak
fair sudah bercampur dengan subjektivisme dan kepentingan tertentu.
Karenanya pandangan mereka biased dan berat sebelah. Hasilnya adalah
kesalahpahaman terhadap Islam di dunia Barat. Citra Islam yang tampak di dunia
Barat adalah kekejaman, kekerasan, fanatisme, kebencian, dan keterbelakangan.
Hal itu diperparah dengan sajian media massa mereka yang
menampilkan Islam tidak secara utuh. Bahkan Islam yang mereka kenalkan bukan
Islam kebanyakan (Sunni), melainkan Islam Syi’ah (Iran) yang hanya dianut oleh
10% kaum Muslim dunia.
Kekeliruan Barat dalam memahami Islam yang lain adalah
menyamakan Islam dengan perilaku individu umat Islam yang melakukan kekerasan,
cap “teroris” pun dilekatkan pada Islam tanpa mau tahu mengapa aksi kekerasan
itu terjadi. Karenanya, populerlah istilah “Terorisme Islam”.
Kesalahpahaman tersebut diperparah lagi dengan gencarnya
serangan propaganda Barat melalui berbagai media massanya untuk memojokkan
agama dan umat Islam (demonologi Islam). Dalam pengemasan berita tentang umat
Islam kerap mengekspos cap-cap seperti “fundamentalisme”, “militanisme”,
“ekstremisme”, “radikalisme” dan bahkan “terorisme” yang arahnya jelas: untuk
mendiskreditkan Islam.
Fobi Islam (Islamophobia, ketakutan terhadap Islam) adalah
produk utama propaganda media massa Barat (demonoloogi Islam). Parahnya lagi
fobi tersebut tidak hanya melanda masyarakat Barat, tetapi juga sebagian besar
umat Islam. Mereka merasa ngeri bila hukum Islam diberlakukan karena frame
yang ada dikepala mereka adalah hukum rajam bagi pezina , hukum cambuk bagi
pemabuk, hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum mati bagi pembunuh.
Isu-isu hukum Islam yang menjadi bahan propaganda Barat untuk menjauhkan umat
Islam dari ajaran agamanya dan menumbuhkan fobi Islam.
Revolusi Islam Iran (1979) umumnya dijadikan referensi: jika
kekuatan Islam naik ke puncak kekuasaan di suatu Negara, pemerintahan Negara
itu akan menerapkan syari’at Islam dan anti-Barat, khususnya anti-Amerika.
Adapun kepentingan Barat di dunia Islam sangat vital. Dunia Islam bagi barat
yang terbentang dari Maroko sampai Merauke letak geografisnya sangat strategis
bagi kepentingan politik dan militer. Kekayaan alamnya, khususnya minyaknya,
merupakan kebutuhan vital bagi industri-industri barat. Bisa dikatakan bahwa
roda-roda perekonomian Negara-negara barat sangat bergantung pada minyak yang
ada di sebagian Negara-negara Islam. Timur tengah sebagai tempat kelahiran dan
“pusat Islam” merupakan pemasok terbesar kebutuhan minyak dunia. Itulah salah
satu alasan mengapa barat merasa “wajib” menaklukkan dunia Islam.
3. Respon Muslim Terhadap Barat (Dialog atau Melawan Hegemoni)
Apapun motif, model, dan pihak yang terlibat konflik,
realitas dunia yang penuh konflik menimbulkan bencana kemanusiaan yang dahsyat,
dimana negara-negara berkembang – termasuk Muslim – adalah korbannya. Konflik
yang dipicu oleh semangat imperialisme telah membuat jurang yang semakin lebar
antara kelompok dominan dan yang didominasi. Dunia tentu tidak boleh terlalu
lama dibiarkan terpolarisasi atas dua kelompok itu, di mana kelompok dominan
sebagai the first class, bisa berbuat sewenang-wenang atas kelompok yang
didominasi. Jalan keluar dari kemelut ini ada dua yang ditawarkan beberapa
kalangan, dialog atau melawan hegemoni.
Dialog adalah model
penyelesaian yang dinilai paling sedikit menanggung resiko. Dialog ini
mengasumsikan antara pihak yang terlibat konflik (Barat dan non-Barat –Islam-)
berada dalam posisi yang sejajar untuk mau saling mengerti satu sama lain.
Negara-negara Barat harus mau mengakhiri sikap imperialis dalam segala
bentuknya, termasuk proyek-proyek pos-kolonialismenya, dan mulai membangun
relasi setara dan bersahabat. Kerjasama dan partisipasi hanya akan bermakna
bila didasarkan keseimbangan kepentingan dan bebas dari hegemoni.
Orang yang mengidealkan cara dialog untuk menyelesaikan
konflik peradaban atau kepentingan mungkin lupa bahwa syahwat hegemoni Barat
adalah sesuatu yang sudah laten dalam tradisi relasi Barat – non-Barat.
Keinginan untuk mengajak Barat bersikap lebih adil adalah utopia di tengah
nafsu serakah Barat yang ingin menguasai dunia.
Setelah cara dialog adalah model utopis, maka jalan lain
yang tidak boleh dihindari oleh negara-negara non-Barat (berkembang atau
Muslim) adalah melawan hegemoni itu dengan potensi kekuatan yang ada. Cara
melawan hegemoni yang paling fundamental adalah bersikap kritis terhadap
berbagai pengetahuan yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat. Sikap
yang terlalu adaptatif – umat Islam Islam – terhadap yang datang dari Barat
hanya akan semakin mengukuhkan hegemoni Barat di dunia Muslim. Umat Islam yang
secara sukarela belajar demokrasi, lalu mengintegrasikan dalam ajaran Islam dan
menerapkan dalam kehidupan politik adalah salah satu bentuk menerima untuk
dijajah. Belum lagi ketika belajar dan menerima peradaban, modernitas, dan civil
society hampir tanpa reserve. Padahal nenurut James Petras dan Henry
Veltmeyer (2002 : 217), wacana tentang itu semua sesungguhnya dipakai untuk
melegitimasi perbudakan, genocide, kolonialisme, dan semua bentuk eksploitasi
terhadap manusia.
Sudah saatnya kaum Muslim di negara-negara berkembang
bersikap kritis untuk melawan wacana global yang diproduksi Barat. Termasuk
wacana globalisasi yang selama ini diterima sebagai sesuatu yang niscaya, harus
dikritisi karena tersembunyi sebuah ideologi (hidden ideology) yakni
neo-liberalisme yang dampaknya terhadap pembunuhan ekoniomi rakyat sangat luar
biasa.
Memang patut untuk disayangkan sikap beberapa kuam Muslim
yang mengaku berfikir liberal tetapi sesunggunya mereka telah menjadi
terbaratkan. Misalnya saat mereka ramai-ramai menolak penerapan syari’at Islam
di Indonesia, yang mereka tawarkan tidak lain dan tidak bukan adalah syari’at
liberal yang jauh lebih menghancurkan bangsa ini. Karena syariat liberal pada
dasarnya adalah pembuka dan sekaligus legitimasi rasional atas berbagai bentuk
mutakhir penjajahan Barat atas negara berkembang, termasuk Indonesia.
4. Peranan Tokoh Intelektual Islam Dalam Merespon Pengaruh
Barat
a. Jamaluddin
al-Afghani dan Para Pembaharu Arab
Salah satu tanggapan terpenting di dunia Islam
diberikan oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Gagasannya mengilhami Muslim di Turki
, Iran , Mesir, dan India ini. Meskipun sangat anti-imperialisme Eropa, ia
mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya
kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasannya untuk mendirikan
sebuah universitas yang khusus mengajarkan ilmu pengetahuan modern di Turki
menghadapi tentangan kuat dari para ulama. Akhirnya ia diusir dari negeri itu.
Bagi Afghani, ilmu pengetahuan Barat dapat
dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya
agar dapat melawan imperialisme
Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin
dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan
instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk
prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran.
Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan
pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang
dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan
filsafat Islam yang telah lama mandek.
Gagasan al-Afghani amat berpengaruh, khususnya
di dunia Arab dan Iran . Penerus utama gagasan Afghani di dunia Arab adalah
pembaharu Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935). Keduanya sempat mengunjungi beberapa negara Eropa, dan amat
terkesan dengan pengalaman mereka di sana . Rasyid Ridha, yang mendapat
pendidikan Islam tradisional, menguasai bahasa asing (Perancis dan Turki), yang
menjadi jalan masuk untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern, secara umum.
Karena itulah, ketika gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, dengan jurnal
Al-’Urwah al-Wutsqa-nya yang diterbitkan di Paris, dan menyebar di Mesir, tak
sulit bagi Ridha untuk bergabung dengan gerakan itu.
Seperti
Afghani, Abduh tidak melihat adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan modern
dan al-Qur’an. Jika hal itu terjadi, maka berarti penafsiran atas al-Qur’an
itulah yang mesti dipertanyakan. Dalam beberapa hal Ridha tampak lebih moderat
dari Abduh. Jika seruan keras Abduh untuk ijtihad – untuk menafsirkan kembali
Islam agar memiliki vitalitas baru – dapat diartikan sebagai adopsi total model
Barat untuk ilmu pengetahuan, maka Ridha tampak lebih berhati-hati dengan
menyarankan dibuatnya suatu kriteria pembaruan Islam untuk menyeleksi
bagian-bagian yang akan diadopsi. Namun, sama seperti Abduh, dalam hal ilmu pengetahuan
dan teknologi ia menyeru agar kaum Muslim mempelajari ilmu pengetahuan maupun
ketrampilan teknik Barat. Bagi Abduh dan Ridha, ilmu pengetahuan modern sendiri
adalah baik, yang menjadi masalah adalah tujuan penggunaannya.
Kebanyakan
pemikir Muslim tidak mengambil sikap “religius” atau “sekularis” seekstrem itu.
Yang tampak tetap dominan di dunia Arab adalah gagasan bahwa ilmu pengetahuan
dan teknologi Barat harus dikuasai, dan bahwa itu tak bertentangan dengan
ajaran Islam. Ini tampak hingga pada beberapa tokoh ulama kontemporer seperti
Sayyid Qutb dan Yusuf al-Qardhawi. Qardhawi, ideolog Ikhwanul Muslimin,
menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan. Jika modernisasi tak berarti
pembaratan, dan terbatas pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern dan penerapan
teknologinya, maka Islam tak menolaknya.
Pandangan Qardhawi ini cukup mewakili
pandangan mayoritas Muslim. Secara umum, dunia Islam relatif terbuka untuk
menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan manfaat
praktisnya. Pandangan instrumentalis ini kelak terbukti tetap bertahan, hingga
kini, di kalangan masyarakat Muslim. Tetapi di kalangan pemikir yang
mempelajari sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tak
cukup memuaskan mereka.
b. India:
Sir Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad Iqbal
Sir
Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) adalah pemikir yang paling menonjol yang
menyerukan “saintifikasi” masyarakat Muslim. Seperti halnya dengan al-Afghani,
ia menyerukan Muslim untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Tetapi lebih jauh
dari al-Afghani ia melihat adanya “kekuatan yang membebaskan” dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Di antara “kekuatan pembebas” itu adalah
penjelasan peristiwa dengan sebab-sebab terdekatnya, yang bersifat
fisik-materiil. Di Barat nilai-nilai ini telah membebaskan orang dari takhayul
dan cengkeraman kekuasaan Gereja. Kini, dengan semangat yang sama, Ahmad Khan
merasa wajib “membebaskan” Muslim dengan melenyapkan unsur supranatural – yang
“tak ilmiah” – dari al-Qur’an. Ia amat serius dengan upayanya ini, hingga
menciptakan sendiri metode penafsiran al-Qur’an baru. Hasilnya adalah “teologi
baru” yang memiliki karakter “ilmiah”.
Generasi
setelah Sir Sayyid, di awal abad ke-20, adalah Mohammad Iqbal (1877-1938),
salah seorang Muslim pertama di anak benua India yang sempat mengkaji pemikiran
Barat modern dan mempunyai akses yang mendalam pada tradisi intelektual Islam.
Kedua hal inilah yang muncul dari karya utamanya, The Reconstruction of
Religious Thought in Islam (Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam
Islam) diterbitkan tahun 1930. Dengan penggunaan istilah reconstruction
(pembangunan kembali) tujuan utama Iqbal telah tergambar. Reconstruction
berarti mengungkapkan kembali pemikiran keagamaan Islam dalam bahasa modern,
untuk konsumsi generasi baru Muslim yang telah berkenalan dengan perkembangan
mutakhir ilmu pengetahuan dan filsafat Barat abad ke-20. “Bahasa modern” pun berarti
bahasa konseptual yang terbentuk akibat perkembangan tersebut.
Kepeduliannya
sama dengan pendahulunya, Sir Sayyid, karena keduanya menghadapi masalah yang
sama. Tetapi sementara Sir Sayyid mengupayakan pemecahan apologetis – dengan
menunjukkan kesesuaian ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan dan filsafat
modern, hingga ke tingkat perumusan ulang teologi Islam – Iqbal bergerak lebih
jauh. Ia menerima ilmu pengetahuan modern lebih dari sekadar sebagai alat,
tanpa merasa harus menerima nilai-nilai Barat.
Ia
menunjukkan bahwa kesesuaian agama, khususnya Islam, dengan ilmu pengetahuan
tak hanya ada pada permukaan dan tak pula hanya menyangkut penemuan mutakhir
ilmu pengetahuan. Aaktivitas ilmuwan adalah sebentuk ibadah. Karena itulah
sampai tingkat tertentu, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan
agama, yakni pencapaian Kenyataan Sejati. Baginya ruh Islam yang anti-klasik –
yang menekankan pada hal-hal yang kongkrit, seperti yang tampak dalam revolusi
intelektual melawan tradisi abstrak Yunani di masa awal perkembangan filsafat
Islam – adalah serupa dengan ruh yang melahirkan ilmu pengetahuan modern.
Namun, meskipun bertujuan sama, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan
struktur sesuatu, dan tak mampu berbicara tentang hakikat akhir dari segala sesuatu
yang memiliki struktur itu.
Untuk
itu, teori ilmu pengetahuan perlu ditafsirkan untuk membantu menjelaskan
gagasan filosofis yang berbicara tentang Kenyataan Sejati. Sementara ilmu
pengetahuan sendiri, dalam anggapan Iqbal, yang bertentangan dengan kecenderungan
banyak ilmuwan modern, tak dapat menciptakan teori yang selengkapnya
menggambarkan realitas. Ini karena ilmu pengetahuan adalah “kumpulan pandangan
yang sepotong-sepotong tentang realitas.”
Tak
berhenti di sini, Iqbal menunjukkan penguasaannya atas teori-teori fisika
mutakhir masa itu dengan menunjukkan bagaimana pandangan ilmuwan seperti
Einstein dan Heisenberg mesti ditafsirkan untuk mendapat gambaran utuh tentang
realitas. Tujuan akhirnya, membangun suatu teologi rasional yang memanfaatkan temuan
ilmu pengetahuan tentang realitas alam.
Iqbal
tidak menganggap ilmu pengetahuan (modern) sebagai sesuatu yang asing bagi
Islam. Seringkali ia menyebutnya sebagai “ilmu manusia”. Artinya, ilmu
pengetahuan adalah universal dan milik umat manusia. Semua masyarakat memiliki
sumbangannya masing-masing. Dalam pencarian kebenaran, setiap orang memiliki
tujuan yang sama, dan menghadapi masalah yang sama. Dalam kasus peradaban
Barat, Eropa telah belajar dari Islam banyak hal yang membantunya menjadi
“peradaban modern”. Maka kini bukanlah aib jika Muslim belajar dari Eropa.
Sebelumnya, Muslim juga belajar dari peradaban Yunani , Persia , dan India .
Bahwa pada akhirnya arah sejarah intelektual Muslim berbeda dengan mereka
membuktikan bahwa sikap kritis masih dapat dipertahankan. Hal yang sama
seharusnya terjadi saat ini.
Meski
beberapa pandangannya dapat dianggap sebagai dasar bagi suatu epistemologi
Islam kontemporer, namun dengan itu ia tak berniat menciptakan suatu “ilmu
pengetahuan Islam”, yang menjadi kecenderungan beberapa dasawarsa sesudahnya.
C. Implikasi
Penjajahan Barat Terhadap Perkembangan Peradaban Islam.
Serbuan kaum salib ke negeri-negeri
Islam tidak hanya menggunakan pedang, besi dan api, tetapi juga melalui
peradaban mereka yang dicekokkan ke semua negeri yang dapat dikuasainya. Bukan
hanya peradaban material yang menyerbu negara-negara Islam, bahkan mental dan
nilai-nilai moralpun tidak ketinggalan, seperti sistem pendidikan dan
pengajaran, dan pemikiran-pemikiran orang Eropa mengenai ilmu jiwa, ilmu
sosial, modal dan lain-lain. Perang Salib menghasilkan puing-puing kehancuran
bagi kaum muslimin akibat kemauan penjajah yang dikendalikan oleh keserakahan
untuk menguasai dan memperkuat wilayahnya mereka memikul salib di pundak
mereka, tetapi setan berada di hati mereka.
Dahulu kaum muslimin menghayati
peradaban ditambah dengan peradaban Persia, Turki dan lain-lain disamping
pemikiran filsafat yang diserap dari Yunani dan Romawi. Dengan datangnya
peradaban Barat, maka peradaban lama yang telah mereka hayati selama
berabad-abad mengalami keguncangan hebat dalam pikiran mereka. Inti peradaban
Barat bercorak Nasrani, karena itu orang-orang Qibth di Mesir lebih mudah
meniru dan menyerapnya. Namun mereka lebih banyak menyerap segi material
daripada segi moralnya, sehingga setiap rumah dari keluarga kaum muslimin telah
menggunakan penerangan listrik, menggunakan sajadah buatan Eropa, mendengarkan
siara radio Eropa dan lain sebagainya.
Pada saat barat mendominasi dunia di
bidang politik dan peradaban, persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh
Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu mereka berusaha bangkit dengan
mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance
of power. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki Usmani, karena
kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu
memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Penjajahan Barat juga memicu gerakan
pembaharuan dalam Islam, yang didorong oleh 2 faktor yaitu pemurnian ajaran
Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam
dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat,
sedangkan yang kedua, tercermin dari pengiriman para pelajar muslim oleh
penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu
pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke
dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak menuntut ilmu
ke Inggris. Pengaruh Barat terutama terlihat pada lapisan atas dan menengah,
terutama pada intelegensia orang yang memperoleh pendidikan Barat, yang
dijumpai pada tiap negeri Timur. Dalam reaksinya terhadap pengaruh Barat mereka
mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Pandangan pertama berpegang pada
sendi-sendi filsafat hidup nenek moyangnya, berusaha melakukan asimilasi dengan
ide-ide Barat dan memikirkan sintesa yang lebih tinggi dari semangat Barat.
Kedua, memutuskan hubungan dengan warisan lama, menerjunkan dirinya dalam pembaratan.
Yang ketiga bersembunyi di belakang kekecewaan dan kengerian Barat.
Memang benar bahwa peradaban Barat
memainkan peranan besar dalam memajukan dunia Islam. Tanpa peradaban Barat
dunia Islam tentu masih seperti keadaan semula, tetapi itu tidak berarti bahwa
peradaban Barat tidak mengandung cacat dan kekurangan. Peradaban Barat telah
menjauhkan dunia Islam dari peradaban Islam yang lama. Akhirnya peradaban Islam
bukan lagi suatu produk dari kaum muslimin mandiri sebagaimana peradaban Barat
adalah produk dari orang-orang Barat sendiri.
D. Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan penting terkait dengan dominasi barat dan respon umat Islam
yang membentuk struktur dominasi-subordinasi yang dalam beberapa hal sarat
konflik. Pertama, basis benturan Islam dan Barat adalah kepentingan
ekonomi dan politik (kapitalisasi dan liberalisasi). Kedua, bahwa sumber
permusuhan Barat terhadap Islam pada garis besarnya ada dua sebab, yaitu dendam
historis dan kesalahpahaman masyarakat barat terhadap Islam. Ketiga,
Cara untuk melawan hegemoni Barat adalah dengan dua cara yang ditawarkan
beberapa kalangan, dialog atau melawan hegemoni dengan bersikap kritis terhadap
Barat, termasuk dalam hal ini adalah bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan
yang dikembangkan oleh dan untuk kepentingan Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini, Hegemoni Kisten Barat, Jakarta: Gema Insani,
2006.
Asep Syamsul, Demonologi Islam, Upaya Barat Membasmi
Kekuatan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Barat,
Jakarta: Paramadina, 2000.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1992.
Makalah untuk memenuhi tugas sejarah peradaban islmam
penyusun kisman al faqir ilallah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar