Minggu, 25 November 2012

TOKOH PLURALISME INDINESIA


PENYEBAR VIRUS SIPILIS INDONESIA

    Tulisan ini diringkas dari buku berjudul 50 TOKOH LIBERAL ISLAM INDONESIA : PENGUSUNG IDE SEKULARISME, PLURALISME, DAN LIBELARISME AGAMA (penulis Budi Handrianto, cetakan pertama terbitan HUJJAH Press Mei 2007). Ada banyak tokoh-tokoh pelopor, senior maupun para penerus “perjuangan” yang dibahas dalam buku tersebut, namun yang akan saya sajikan dalam tulisan ini hanyalah tokoh yang memang sudah dikenal -diakui ataupun tidak- oleh masyarakat luas sebagai pengusung paham SIPILIS (baca : Sekularis, Pluralis, dan Liberalis) yang kerap kali dengan bangga menyebarkan dan meresahkan Indonesia dengan berbagai ide-ide dan pemikirannya yang nyleneh.

    Tulisan ini dibuat agar para rijalud da’wah senantiasa waspada, karena ternyata musuh-musuh da’wah itu banyak bermunculan di Indonesia yang memang sengaja disiapkan untuk menghancurkan Islam, dan agar menjadi ihtimam bagi para rijal untuk senantiasa meningkatkan ilmu dan fikriyah yang dimiliki, terutama untuk menghadapi kaum SIPILIS.

Abdurrahman Wahid

    Lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur 4 Agustus 1940. Ia putra tertua dari K.H Ahmad Wahid Hasyim yang merupakan tokoh nasional sekaligus mentri agama pertama republik ini. Kakeknya sendiri adalah K.H. Hasyim Asy’ari, pengasuh pondok pesantern Tebu Ireng dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU).Pernah menjadi Presiden RI tahun 1999-2001. Gus Dur, demikian ia sering disapa, adalah salah satu dari 4 tokoh yang disebut Greg Barton sebagai pelopor Islam Liberal di Indonesia. 

    Gus Dur tamat sekolah Sekolah Rakyat di Jakarta tahun 1953, lalu melanjutkan SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Yogyakarta dan tamat tahun 1956 dan mengaji pada KH. Ali Maksum di Krapyak Yogyakarta. Kemudian meneruskan belajar di pesantren Tegalrejo Malang, pindah ke pesantern Tambak Beras Jombang tahun 1959-1963. Lalu belajar ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di Universitas Al-Azhar Kairo kemudian pindah ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad. Dari Baghdad, Gus Dur kembali ke Indonesia tahun 1974 dan mulai berkarir sebagai ‘cendekiawan’ dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional.

    Nama Gus Dur mulai mencuat setelah terpilih sebagai ketua umum PBNU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Ketika itu hubungan NU dnegan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam perjalanan selanjutnya, Gus Dur tak selalu berkompromi dnegan pemerintah. Misalnya, saat pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula saat Habibie mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi. Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi tersebut kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada tahun 1984. Kendati pada tahun 1999, ia sendiri yang membawa NU kembali ke panggung politik meski dalam format yang berbeda karena dilakukan melalui pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa, partai yang selalu dirujuk sebagai ‘anak kandung’ NU. Sementara itu Gus Dur tidak mengakui partai lain bentukan orang-orang NU selain PKB. Bahkan sebelum pemilu, di Televisi Pendidikan Indonesia dengan serius ia menyatakan bahwa dari dubur ayam bisa keluar telur dan tai ayam. Saat ditanya apa maksudnya, Gus Dur menjawab, “ Yang telur ayam itu PKB, yang lainnya tai ayam. “

    Awal tahun 1998 ia terserang stroke. Tim dokter bisa menyelamatkannya, namun sebagai akibatnya penglihatannya kian memburuk. Pada saat ia dilantik  menjadi presiden, ia sudah dideskripsipkan media massa barat sebagai ‘nyaris buta’. Selain karena stroke, diduga problem kesehatannya juga dikarenakan faktor keturunan yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.

    Semasa menjabat sebagai Presiden RI yang ke-4, ia sudah membuat pernyataan yang memicu reaksi keras dari beberapa komponen Islam, salah satunya adalah pernyataan Gus Dur akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang telah membantai ribuan nyawa orang Palestina hingga saat ini. Pada saat Sidang Umum MPR tahun 1999, Poros Tengah yang gagal meng-golkan salah seorang tokohnya sendiri menjadi presiden (BJ. Habibie, Amien Rais, Jamzah Haz dan Yusril Ihza Mahendra), merangkul Gus Dur untuk bisa mengalahkan Megawati Sukarnoputri. Sehingga Megawati yang partainya memenangkan pemilu akhirnya harus puas dengan kursi wapres. Terpilihnya kembali Gus Dur ini, sekali lagi telah menunjukkan sosk kontroversial, dalam hal kelayakan politik demokrasi dan dalam hal kondisi fisik Gus Dur sendiri. Partai Gus Dur yang hanya mendapatkan 11% dapat mengalahkan Megawati yang notabene memenangkan pemilu dengan raihan 35%. Bahkan Gus Dur sendiri merasa kaget dan heran dengan mengatakan, “Orang buta kok dipilih menjadi presiden.”
    Diluar karir politik praktisnya, Gus Dur kerap kali berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit dengan melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya ICMI yang diketuai BJ. Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang dan menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari 10 tahun ternyata pernyataannya tersebut bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.

    Gus Dur termasuk orang yang sering melontarkan pendapat kontroversial. Bahkan ketika menjabat Presiden RI ke-4 dan berhenti jadi presiden, kebiasaan melontarkan pernyataan heboh tidak pernah berhenti. Sampai-sampai, kata yang sering dilontarkan untuk menyederhanakan sesuatu menjadi ungkapan yang umum di masyarakat, “ Gitu aja kok repot !”

    Ia juga pengamat sepakbola yang tajam daya analisisnya. Bahkan, setelah penglihatannya benar-benar terganggu, pada Piala Dunia Juni 2002 silam, ia masih juga antusias memberi komentar mengenai proyeksi juara.

    Begitulah Gus Dur, tokoh penuh kontroversi. Pernyataan dan tindakannya sering membuat gerah dan menuai kritik. Mulai dari pernyataannya yang ingin mengganti ucapan ‘assalaamu’alaikum’ dengan selamat pagi/siang/malam sampau pernyataannya yang cukup berani dengan mengatakan bahwa ‘Al-Qur’an adalah kitab porno’. Pernyataan menghebohkan tersebut membuat penolakan dari umat ketika ia di Purwakarta. Terlalu kontroversinya Gus Dur pernah membuat tokoh sepuh NU KH. As’ad Syamsul Arifin memilih keluar (mufaraqah) dari NU karena menganggap Gus Dur bagaikan Imam Sholat yang kentut sehingga tidak sah makmum di belakangnya.

    Selepas dari jabatan presiden, kontroversi terus menyelimuti Gus Dur. Ia bahkan pernah dinobatkan sebagai anggota kehormatan Legium Christus (Laskar Kristus) pada bulan Januari 2002 di GOR Kampus Universitas Manado di Tataaran Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Gus Dur dipilih oleh Laskar Kristus sebagai anggota kehormatan karena Gus Dur dinilai sejalan dengan misi Legium Christus. Sebagai anggota kehormatan, Gus Dur menadpat tugas khusus. Kata Lucky Senduk, Sekretaris Umum Legium Christus kepada Tempo News Room, “Tugas Gus Dur sebagai ujung tombak menolak pemberlakuan Piagam Jakarta dan melalui NU melindungi orang kristen di Jawa.”

    Gus Dur juga pernah memberikan kata pengantar dalam buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” tulisan dr. Ribka Tjiptaning Ploretariyati pada bulan Agustus 2002 sehingga memicu keluarnya buku karangan Hartono Ahmad Jaiz berjudul “Gus Dur Menjual Bapaknya.”

    Dalam kasus Ambon, Gus Dur justru memojokkan kelompok Islam dan membela kelompok non Muslim. Ketika kunjungan ke Institut Mahatma Gandhi di Denpasar Bali, dalam acara do’a bersama yang diberi nama Agni Horta, Gus Dur mengeluarkan pernyataan-pernyataan diantaranya Mahatma Gandhi adalah orang sui. Katanya, “Saya menjadi seorang Muslim yang juga menganut faham Mahatma Gandhi.” Kemudian katanya, “Bagi saya, semua agama itu sama. Di Islam pun banyak orang yang berkelahi karena agama.” Ketika kasus penghancuran Masjid Babri oleh orang-orang Hindu di India, di hadapan umat Hindu Gus Dur justru berkata, “Mengapa kita marah kepada mereka yang menyerang Masjid Babri?kenapa?karena toh jauh sebelumnya, Masjid Babri itu telah menjadi kuil. Kita datang, kita jadikan masjid. Sekarang, orang lain datang minta diubah lagi.” Pernyataan ini agak aneh karena justru PBNU mengeluarkan pernyataan yang isinya menyesalkan terjadinya insiden Ayodhya (Penghancuran Masjid Babri) itu dan yang menandatangani suratnya adalah Gus Dur sendiri bersama sekjen PBNU Ichwan Syam.

    Ketika Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang berakhir tanggal 29 Juli 2006, menetapkan fatwa diantaranya mengharamkan paham Liberalisme, Sekularisme, Pluralisme serta paham Ahmadiyah. Sejumlah tokoh masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dawam Raharjo, Ulil Absar Abdalla (Jaringan Islam Liberal), Johan Effendi, Pendeta Winata Sairin (PGI) dan tokoh-tokoh lainnya bahkan mendesak MUI agar mencabut fatwa yang mengharamkan paham yang berbeda semisal Pluralisme, Liberalisme dan Ahmadiyah. Mereka beragumen, fatwa semacam itu seringkali dijadikan landasan untukmelakukan kekerasan terhadap pihak lain. Selain itu, “Indonesia bukanlah negara Islam tapi negara nasonal. Jadi ukurannya hukum nasioanal,” begitu kata Gus Dur di gedung PBNU.

    Bahkan Mei yang silam Gus Dur terbang ke Amerika Serikat memenuhi undangan Shimon Wiesenthal Center (SWC) untuk menerima Medal of Valor, Medali Keberanian. Selain untuk menerima medali tersebut, Gus Dur juga menyatakan ikut merayakan hari kemerdekaan Israel, sebuah hari di mana bangsa Palestina dibantai besar-besaran dan diusir dari tanah airnya. Medali ini dianugerahkan kepada mantan presiden RI ini dikarenakan Durahman dianggap sebagai sahabat paling setia dan paling berani terang-terangan menjadi pelindung kaum Zionis-Yahudi dunia di sebuah negeri mayoritas Muslim terbesar seperti Indonesia.

    Acara penganugerahan medali tersebut dilakukan dalam sebuah acara makan malam istimewa yang dihadiri banyak tokoh Zionis Amerika dan Israel, termasuk aktor pro-Zionis Will Smith (The Bad Boys Movie), di Beverly Wilshire Hotel, 9500 Wilshire Blvd., Beverly Hills, Selasa (6 Mei), dimulai pukul 19.00 waktu Los Angeles.

    Lazimnya acara penganugerahan penghargaan, maka dalam acara ini pun selain medali, ada juga sejumlah dollar yang dihadiahkan Shimon Wiesenthal Center kepada sang penerima. Hanya saja, berapa besar jumlah hadiah berupa uang ini tidak disebutkan dalam situs resmi Wiesenthal Center tersebut (
 

Daftar 50 Tokoh JIL Indonesia

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_SzFOz1bjZ2-jft3WLkyQ6TXgVHwSV_XnEEW0TS6fXt4O88YwKw6ThPQOChk3TLEWqfQqZ7PjYkcgd1wI0VrtAi5vwQNfTH1xmhaUJ_i0ufQdwn5WXrsjdb3NxXcdXCDpKawi0BFFF-qH/s400/P1050474.JPG
Mungkin kebawa Bulan Suci ramadhan. 
Iseng jalan-jalan di internet dengan keyword Penyesatan dalam Islam, ternyata semua hampir menuju pada suatu organisasi JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mana cukup genjar dan vokal dalam menafsirkan islam dengan gaya mereka sendiri walaupun itu bertentangan al-Qur'an dan ass-Sunnah dengan manhaj salafus shalih.
Dan Berikut ini adalah 50 Tokoh dari JIL (Jaringan Islam Liberal) yang ada di Indonesia yang diambil dari buku terbitan Hujjah Press (kelompok Penerbit Al Kautsar) :


A. Para Pelopor
1. Abdul Mukti Ali
2. Abdurrahman Wahid
3. Ahmad Wahib
4. Djohan Effendi
5. Harun Nasution 
6. M. Dawam Raharjo 
7. Munawir Sjadzali
8. Nurcholish Madjid 

B. Para Senior
9. Abdul Munir Mulkhan 
10. Ahmad Syafi’i Ma’arif 
11. Alwi Abdurrahman Shihab
12. Azyumardi Azra 
13. Goenawan Mohammad
14. Jalaluddin Rahmat 
15. Kautsar Azhari Noer
16. Komaruddin Hidayat
17. M. Amin Abdullah
18. M. Syafi’i Anwar
19. Masdar F. Mas’udi 
20. Moeslim Abdurrahman
21. Nasaruddin Umar
22. Said Aqiel Siradj
23. Zainun Kamal

C. Para Penerus “Perjuangan”
24. Abd A’la
25. Abdul Moqsith Ghazali
26. Ahmad Fuad Fanani
27. Ahmad Gaus AF
28. Ahmad Sahal
29. Bahtiar Effendy
30. Budhy Munawar-Rahman
31. Denny JA 
32. Fathimah Usman
33. Hamid Basyaib
34. Husein Muhammad
35. Ihsan Ali Fauzi
36. M. Jadul Maula
37. M. Luthfie Assyaukanie 
38. Muhammad Ali
39. Mun’im A. Sirry
40. Nong Darol Mahmada
41. Rizal Malarangeng
42. Saiful Mujani
43. Siti Musdah Mulia 
44. Sukidi
45. Sumanto al-Qurthuby
46. Syamsu Rizal Panggabean
47. Taufik Adnan Amal
48. Ulil Abshar-Abdalla 
49. Zuhairi Misrawi
50. Zuly Qodir

Tambahan:

Judul Buku : 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia : Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme

Penulis : Budi Handrianto
Halaman : 295 + xxvi paperback (softcover)
Cetakan 1 : Juni 2007
Penerbit : Hujjah Press (kelompok Penerbit Al Kautsar

Kamis, 31 Maret 2011

Kampanye Pluralisme yang Setengah Hati


agaimanakah relasi komunikasi dalam bingkai pluralisme itu sesungguhnya? Pertanyaan tersebut memang lebih layak dijawab oleh mereka yang memerjuangkannya. Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menerka apalagi sampai mencari pembenaran atas wacana yang bagi mayoritas muslim tampak absurd dan kerap kali tampil menyebalkan itu.
            Tulisan ini hanya mencoba merefleksikan pluralisme dalam tataran praktik sehari-hari saja. Lebih khusus lagi ketika wacana tadi secara intensif (bahkan ekspresif) tampil di jagat maya. Ruang cyber dalam hal ini coba penulis posisikan sebagai medan wacana tempat aneka rayuan, tarikan, dan model-model persuasi bertebaran. Pluralisme hanya salah satu di antara sekian banyak wacana yang mencoba bersaing guna memenangkan opini. Karenanya, membedah tawaran pluralisme yang nampak entah berbentuk artikel, publisitas, hingga perkara remeh semisal status Facebook dan celoteh Twitter menjadi menarik. Terutama jika kita coba mengukur tingkat kesungguhan dan konsistensi wacana tadi guna memenangkan penerimaan khalayak.
            Sekadar sampel, dua tokoh pengusung pluralisme yang ditampilkan di sini adalah Ulil Abshar Abdala dan Sumanto Al-Qurtuby. Pemilihan dua tokoh tadi sejatinya tidak didasari pertimbangan yang cukup memadai jika ditinjau dari aspek metodologi. Keduanya ‘dicomot’ hanya karena penulis rasa cukup intensif menggunakan dunia maya sebagai medium penyebaran gagasan pluralisme. Tentu saja masih banyak tokoh lain yang tidak kalah intensnya, hanya saja di sini penulis batasi pada Ulil dan Sumanto, karena di samping akses penulis pada statement mereka berdua cukup tinggi, keduanya juga sama-sama pernah melontarkan semacam komitmen untuk memenangkan penerimaan wacana pluralisme agama di masyarakat. 
Kesadaran akan penerimaan
            Dalam wawancaranya yang dimuat Vivanews (21/1/10), Ulil Abshar Abdalla yang merupakan salah seorang tokoh sentral gerakan pluralisme mengatakan bahwa “tantangan saat ini adalah bagaimana ide-ide tentang pluralisme dan dialog-dialog agama tidak lagi mendapatkan kecaman dan mendapatkan legitimasi di masyarakat”. Penyataan tersebut dikemukakan Ulil menyikapi Fatwa MUI yang dikeluarkan jauh-jauh hari yakni pada tahun 2005 tentang keharaman pluralisme, liberalisme dan neo-liberalisme. Bagi Ulil, fatwa MUI itu memaksa para  aktivis yang getol mengampanyekan ide-ide tadi—khususnya pluralisme—menjadi takut untuk mengemukakan pendapat. Lebih lanjut ia berpendapat situasi semacam ini amat berbeda dengan sebelum era reformasi di mana pada waktu itu ada kebanggaaan dari kalangan aktivis ketika mempromosikan ide tersebut.
"Pluralisme dan kerukunan antar umat beragama saat itu dianggap sebagai ide yang maju, modern. Namun setelah muncul fatwa MUI itu, membuat kita para aktivis yang mengkampanyekan ide pluralisme ini jadi punya ketakutan bicara. Tekananannya hebat," demikian ujarnya
Penolakan dari golongan pengusung pluralisme terhadap pelbagai fatwa MUI sejatinya bukanlah hal baru. Otoritas lembaga yang satu ini memang seringkali menjadi sasaran tembak kalangan pembela kaum minoritas yang kerap membenturkan diri dengan aspirasi mayoritas tersebut. Karenanya apa yang menarik sesungguhnya ada pada respons Ulil atas konsekuensi fatwa MUI tadi. Pria yang pada waktu itu tengah mencalonkan diri sebagai penerus kepemimpinan NU ini  menekankan pentingnya mengangkat kembali citra wacana pluralisme. "Yaitu dengan cara mengangkat kembali reputasi mengenai ide pluralisme ini di masyarakat," tambahnya.
            Dari sini dapat kita lihat ada semacam komitmen Ulil untuk setidaknya menampilkan wajah pluralisme yang lebih memenangkan penerimaan masyarakat(muslim tanah air). Masyarakat yang dalam hal ini diposisikan sebagai sasaran sebuah gagasan, dirasa perlu untuk dipahamkan mengenai superioritas pluralisme vis a vis pemahaman puritan yang kerap dicitrakan menjadi “musuh” toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama.
            Senada dengan Ulil, Sumanto al-Qurtuby pun memiliki pandangan yang kurang lebih sama. Dalam artikelnya yang bertajuk ”Jihad Pluralis Melawan  Kaum Ekstrimis”, Sumanto mengajak masyarakat untuk melakukan “jihad kolektif” guna membendung kelompok yang disebutnya sebagai ekstrimis-agama dengan tidak menggunakan kekerasan. “Jihad yang dimaksud di sini adalah usaha keras tanpa kenal lelah untuk melakukan ‘pencerahan’ terhadap kelompok-kelompok keagamaan ini dengan jalan dialog yang sehat, santun, dan beradab baik melalui tulisan akademik maupun forum-forum diskusi ilmiah yang bermuara pada pentingnya sikap keberagamaan yang humanis-pluralis dan toleran inklusif,” (Jihad Pluralis Melawan Kaum Ekstrimis, Kompas, 20/2/10). Sumanto juga tidak lupa menegaskan bahwa melawan kekerasan dengan kekerasan bukanlah cara terbaik, sebagi penjelas maksud ajakannya tadi.  
Pluralis dan kenaifan beropini
            Celakanya, kehendak untuk memenangkan penerimaan khalayak akan gagasan pluralisme sekaligus ‘berjihad’ melawan ‘kaum ekstrimis’ di atas tidak diimbangi dengan pola komunikasi harian pegiatnya. Beberapa kali bahkan kecenderungan pola komunikasi antipatif mengemuka dan memancing emosi publik penyimak.
            Simaklah statement Ulil berikut yang diungkapkannya dalam jejaring social twitter 9/11/2010 yakni saat umat islam hendak melaksanakan ibadah qurban: “Menurut saya, akan sangat baik kalau hewan korban diganti uang cash, dijadikan semacam ‘endowment’ untuk biayai pendidikan, misalnya.
            Kontan saja banyak yang merespon dengan antipati ungkapan Ulil tadi. Dari sisi momentum, pelaksanaan ibadah kurban saat itu sudah dekat dan umat muslim tengah bersiap menyambutnya, namun pernyataan Ulil tadi seolah-olah hendak menggugat keyakinan cara ibadah yang telah mapan diyakini kaum muslimin bukan hanya Indonesia namun juga dunia. Dalam hal ini resistensi tentu menjadi beralasan dan seharusnya orang dengan kapasitas seperti Ulil, menyadari hal tersebut. Alih-alih penerimaan, statement tadi lebih banyak menuai gugatan dan cercaan dari khalayak muslim pengguna jejaring sosial.
            Ulil Abshar Abdalla memang adalah sosok yang sejak awal kemunculannya sebagai intelektual public kerap melahirkan opini yang kontroversial. Artikelnya yang dimuat oleh salah satu harian nasional bertajuk ”Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” misalnya, langsung menuai kecaman hingga berbuntut fatwa mati dari salah satu ormas muslim. Kejadian tersebut rupanya sama sekali tidak menyurutkan Ulil untuk tetap memproduksi opini yang berlawanan dari pemahaman baku umat Islam. Akibatnya, resistensi harus terus ia tanggung sepanjang karier keintelektualannya.
            Warna moderat Ulil sebenarnya sempat mengemuka pada awal tahun 2010 lalu. Melalui pidato kebudayaannya berjudul “Sebuah Refleksi Tentang Kehidupan Keberagamaan dan Sosial Kita,” ia tidak lagi secara frontal menyerang pemahaman mainstream umat islam namun mampu melihat sisi positif dari keyakinan mayoritas muslim. Memang ide-ide liberal khas Ulil tetap ditampilkan superior pada akhirnya tapi setidaknya ia masih memberikan ruang bagi ‘artikulasi’ yang lebih berimbang menyangkut apa yang selama ini ia sebut sebagai pemahaman salaf dan kelompok fundamentalis.
             Kesadaran akan pentingnya artikulasi tadi sayangnya tidak terlampau konsisten tampak sebagaimana terbukti dari celoteh-celoteh harian dan kiprahnya di kesempatan komunikasi publik selanjutnya. Alih-alih berusaha menjadi artikulator dari tiap elemen umat, Ulil pada pertengahan Juni 2010 justru merambah ranah politik praktis. Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu 2009 dipilih sebagai kendaraan barunya. Pilihannya pada partai Demokrat bisa dipahami mengingat parpol tersebut memang tidak memiliki warna ideologi yang khas dan kental jika dibandingkan PDIP, Partai Golkar, atau PKS misalnya. Hal ini diamini sendiri oleh Ulil yang menyatakan pilihannya didasari pada pertimbangan bahwa Demokrat adalah partai yang masih bisa dibentuk(inilah.com/17/6/10).  Dan dalam kendaraan ini pula kicauan Ulil di dunia cyber mengenai gagasannya yang kontroversial-seperti penolakannya atas pemblokiran situs porno dan dukungannya pada Ahmadiyah-kian intensif berbekal back up kekuatan politik yang lebih nyata. Walhasil kesan pragmatis dan oportunistik sulit untuk ia hindari demikian pula kredibilitasnya sebagai intelektual tak ayal dipertanyakan.
            Di tempat yang berbeda, Sumanto Al-Qurtuby pun setali tiga uang. Berlawanan dengan statementnya ketika mengajak berjihad melawan kelompok ekstrimis tanpa menggunakan kekerasan, beberapa kali celetukannya di Facebook mengindikasikan kekerasan non-fisik yang sebetulnya juga pernah ia gugat sendiri dalam “Jihad Pluralis”-nya.
            Simaklah beberapa status Sumanto berikut, “Saya kira pemerintah dan otoritas agama terkait sudah saatnya untuk menginstruksikan agar semua tempat ibadah, khususnya masjid/mushalla, harus kedap suara agar aktivitas keagamaan (azan, pengajian, khotbah dlsb) tidak terdengar keras keluar ruangan yang bisa saja mengganggu & menimbulkan ketidaknyamanan & keresahan sejumlah pihak terutama saat pengajian/khotbah2 yg bersifat provokatif.”(18/10/10), dalam kesempatan lain ia kembali menulis,” Apa sebetulnya alasan pengharaman babi dlm Islam itu? Betulkah kata "khinzir" dlm Alqur'an yg dijadikan alasan pengharaman babi itu berarti babi? Lalu apakah yg diharamkan itu "babi putih" (babi piaraan) atau "babi coklat" (babi hutan). Tdk spt "babi putih" yg bnyk mengandung lemak & kolesterol, babi hutan ini sangat sehat & menyehatkan...”(22/2/10), atau “Pada waktu konflik Maluku meletus, banyak org2 non-Muslim yg "diislamkan" dengan cara "disunat" oleh sejumlah milisi Muslim. Bgm sunat bisa dianggap sbg "lambang keislaman"? Bukankah tradisi sunat dlm Islam ini berasal dr tradisi Yahudi? Karena itu "sunat" lbh tepat disebut sbg "simbol keyahudian" drpd "lambang keislaman"....”
Konsistensi dan Kejujuran Intelektual
            Menyaksamai inkonsistensi pernyataan dan praktik kedua tokoh pengusung pluralisme dalam dunia maya di atas, mau tidak mau kita maklum jika akhirnya muncul keraguan mengenai komitmen intektual keduanya. Ketika dalam kesehariannya baik Ulil maupun Sumanto lebih menikmati aneka ekspresi resistensi publik ketimbang bersungguh-sungguh mengkomuniksikan gagasannya dengan santun, penolakan menjadi lumrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar