PENYEBAR VIRUS SIPILIS INDONESIA
Tulisan ini diringkas dari buku berjudul 50 TOKOH
LIBERAL ISLAM INDONESIA : PENGUSUNG IDE SEKULARISME, PLURALISME, DAN
LIBELARISME AGAMA (penulis Budi Handrianto, cetakan pertama terbitan HUJJAH
Press Mei 2007). Ada banyak tokoh-tokoh pelopor, senior maupun para penerus
“perjuangan” yang dibahas dalam buku tersebut, namun yang akan saya sajikan
dalam tulisan ini hanyalah tokoh yang memang sudah dikenal -diakui ataupun
tidak- oleh masyarakat luas sebagai pengusung paham SIPILIS (baca :
Sekularis, Pluralis, dan Liberalis) yang kerap kali dengan bangga
menyebarkan dan meresahkan Indonesia dengan berbagai ide-ide dan
pemikirannya yang nyleneh.
Tulisan ini dibuat agar para rijalud da’wah senantiasa
waspada, karena ternyata musuh-musuh da’wah itu banyak bermunculan di
Indonesia yang memang sengaja disiapkan untuk menghancurkan Islam, dan agar
menjadi ihtimam bagi para rijal untuk senantiasa meningkatkan ilmu dan
fikriyah yang dimiliki, terutama untuk menghadapi kaum SIPILIS.
Abdurrahman Wahid
Lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur 4 Agustus 1940.
Ia putra tertua dari K.H Ahmad Wahid Hasyim yang merupakan tokoh nasional
sekaligus mentri agama pertama republik ini. Kakeknya sendiri adalah K.H.
Hasyim Asy’ari, pengasuh pondok pesantern Tebu Ireng dan pendiri organisasi
Nahdhatul Ulama (NU).Pernah menjadi Presiden RI tahun 1999-2001. Gus Dur,
demikian ia sering disapa, adalah salah satu dari 4 tokoh yang disebut Greg
Barton sebagai pelopor Islam Liberal di Indonesia.
Gus Dur tamat sekolah Sekolah Rakyat di Jakarta tahun
1953, lalu melanjutkan SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di
Yogyakarta dan tamat tahun 1956 dan mengaji pada KH. Ali Maksum di Krapyak
Yogyakarta. Kemudian meneruskan belajar di pesantren Tegalrejo Malang,
pindah ke pesantern Tambak Beras Jombang tahun 1959-1963. Lalu belajar
ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di Universitas Al-Azhar Kairo kemudian
pindah ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad. Dari Baghdad, Gus Dur
kembali ke Indonesia tahun 1974 dan mulai berkarir sebagai ‘cendekiawan’
dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional.
Nama Gus Dur mulai mencuat setelah terpilih sebagai
ketua umum PBNU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Ketika itu
hubungan NU dnegan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam
perjalanan selanjutnya, Gus Dur tak selalu berkompromi dnegan pemerintah.
Misalnya, saat pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula saat Habibie
mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum
Demokrasi. Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU,
adalah ketika ia membawa organisasi tersebut kembali ke khittahnya, keluar
dari politik praktis pada tahun 1984. Kendati pada tahun 1999, ia sendiri
yang membawa NU kembali ke panggung politik meski dalam format yang berbeda
karena dilakukan melalui pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa, partai yang
selalu dirujuk sebagai ‘anak kandung’ NU. Sementara itu Gus Dur tidak
mengakui partai lain bentukan orang-orang NU selain PKB. Bahkan sebelum
pemilu, di Televisi Pendidikan Indonesia dengan serius ia menyatakan bahwa
dari dubur ayam bisa keluar telur dan tai ayam. Saat ditanya apa maksudnya,
Gus Dur menjawab, “ Yang telur ayam itu PKB, yang lainnya tai ayam. “
Awal tahun 1998 ia terserang stroke. Tim dokter bisa
menyelamatkannya, namun sebagai akibatnya penglihatannya kian memburuk.
Pada saat ia dilantik menjadi presiden, ia sudah dideskripsipkan
media massa barat sebagai ‘nyaris buta’. Selain karena stroke, diduga
problem kesehatannya juga dikarenakan faktor keturunan yang disebabkan
hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.
Semasa menjabat sebagai Presiden RI yang ke-4, ia sudah
membuat pernyataan yang memicu reaksi keras dari beberapa komponen Islam,
salah satunya adalah pernyataan Gus Dur akan membuka hubungan dagang dengan
Israel, negara yang telah membantai ribuan nyawa orang Palestina hingga
saat ini. Pada saat Sidang Umum MPR tahun 1999, Poros Tengah yang gagal
meng-golkan salah seorang tokohnya sendiri menjadi presiden (BJ. Habibie,
Amien Rais, Jamzah Haz dan Yusril Ihza Mahendra), merangkul Gus Dur untuk
bisa mengalahkan Megawati Sukarnoputri. Sehingga Megawati yang partainya
memenangkan pemilu akhirnya harus puas dengan kursi wapres. Terpilihnya
kembali Gus Dur ini, sekali lagi telah menunjukkan sosk kontroversial,
dalam hal kelayakan politik demokrasi dan dalam hal kondisi fisik Gus Dur
sendiri. Partai Gus Dur yang hanya mendapatkan 11% dapat mengalahkan
Megawati yang notabene memenangkan pemilu dengan raihan 35%. Bahkan Gus Dur
sendiri merasa kaget dan heran dengan mengatakan, “Orang buta kok dipilih
menjadi presiden.”
Diluar karir politik praktisnya, Gus Dur kerap kali
berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering
menempatkannya pada posisi sulit dengan melawan pemimpin Islam lainnya di
Indonesia. Seperti saat didirikannya ICMI yang diketuai BJ. Habibie, Gus
Dur secara terbuka menentang dan menyebut ICMI akan menimbulkan masalah
bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari 10 tahun ternyata
pernyataannya tersebut bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia
mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.
Gus Dur termasuk orang yang sering melontarkan pendapat
kontroversial. Bahkan ketika menjabat Presiden RI ke-4 dan berhenti jadi
presiden, kebiasaan melontarkan pernyataan heboh tidak pernah berhenti.
Sampai-sampai, kata yang sering dilontarkan untuk menyederhanakan sesuatu
menjadi ungkapan yang umum di masyarakat, “ Gitu aja kok repot !”
Ia juga pengamat sepakbola yang tajam daya analisisnya.
Bahkan, setelah penglihatannya benar-benar terganggu, pada Piala Dunia Juni
2002 silam, ia masih juga antusias memberi komentar mengenai proyeksi
juara.
Begitulah Gus Dur, tokoh penuh kontroversi. Pernyataan
dan tindakannya sering membuat gerah dan menuai kritik. Mulai dari
pernyataannya yang ingin mengganti ucapan ‘assalaamu’alaikum’ dengan
selamat pagi/siang/malam sampau pernyataannya yang cukup berani dengan
mengatakan bahwa ‘Al-Qur’an adalah kitab porno’. Pernyataan menghebohkan
tersebut membuat penolakan dari umat ketika ia di Purwakarta. Terlalu
kontroversinya Gus Dur pernah membuat tokoh sepuh NU KH. As’ad Syamsul
Arifin memilih keluar (mufaraqah) dari NU karena menganggap Gus Dur
bagaikan Imam Sholat yang kentut sehingga tidak sah makmum di belakangnya.
Selepas dari jabatan presiden, kontroversi terus
menyelimuti Gus Dur. Ia bahkan pernah dinobatkan sebagai anggota kehormatan
Legium Christus (Laskar Kristus) pada bulan Januari 2002 di GOR Kampus
Universitas Manado di Tataaran Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Gus Dur dipilih oleh Laskar Kristus sebagai anggota kehormatan karena Gus
Dur dinilai sejalan dengan misi Legium Christus. Sebagai anggota kehormatan,
Gus Dur menadpat tugas khusus. Kata Lucky Senduk, Sekretaris Umum Legium
Christus kepada Tempo News Room, “Tugas Gus Dur sebagai ujung tombak
menolak pemberlakuan Piagam Jakarta dan melalui NU melindungi orang kristen
di Jawa.”
Gus Dur juga pernah memberikan kata pengantar dalam buku
“Aku Bangga Jadi Anak PKI” tulisan dr. Ribka Tjiptaning Ploretariyati pada
bulan Agustus 2002 sehingga memicu keluarnya buku karangan Hartono Ahmad
Jaiz berjudul “Gus Dur Menjual Bapaknya.”
Dalam kasus Ambon, Gus Dur justru memojokkan kelompok
Islam dan membela kelompok non Muslim. Ketika kunjungan ke Institut Mahatma
Gandhi di Denpasar Bali, dalam acara do’a bersama yang diberi nama Agni
Horta, Gus Dur mengeluarkan pernyataan-pernyataan diantaranya Mahatma Gandhi
adalah orang sui. Katanya, “Saya menjadi seorang Muslim yang juga menganut
faham Mahatma Gandhi.” Kemudian katanya, “Bagi saya, semua agama itu sama.
Di Islam pun banyak orang yang berkelahi karena agama.” Ketika kasus
penghancuran Masjid Babri oleh orang-orang Hindu di India, di hadapan umat
Hindu Gus Dur justru berkata, “Mengapa kita marah kepada mereka yang
menyerang Masjid Babri?kenapa?karena toh jauh sebelumnya, Masjid Babri itu
telah menjadi kuil. Kita datang, kita jadikan masjid. Sekarang, orang lain
datang minta diubah lagi.” Pernyataan ini agak aneh karena justru PBNU
mengeluarkan pernyataan yang isinya menyesalkan terjadinya insiden Ayodhya
(Penghancuran Masjid Babri) itu dan yang menandatangani suratnya adalah Gus
Dur sendiri bersama sekjen PBNU Ichwan Syam.
Ketika Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang
berakhir tanggal 29 Juli 2006, menetapkan fatwa diantaranya mengharamkan
paham Liberalisme, Sekularisme, Pluralisme serta paham Ahmadiyah. Sejumlah
tokoh masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan, seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dawam
Raharjo, Ulil Absar Abdalla (Jaringan Islam Liberal), Johan Effendi,
Pendeta Winata Sairin (PGI) dan tokoh-tokoh lainnya bahkan mendesak MUI
agar mencabut fatwa yang mengharamkan paham yang berbeda semisal
Pluralisme, Liberalisme dan Ahmadiyah. Mereka beragumen, fatwa semacam itu
seringkali dijadikan landasan untukmelakukan kekerasan terhadap pihak lain.
Selain itu, “Indonesia bukanlah negara Islam tapi negara nasonal. Jadi
ukurannya hukum nasioanal,” begitu kata Gus Dur di gedung PBNU.
Bahkan Mei yang silam Gus Dur terbang ke Amerika Serikat
memenuhi undangan Shimon Wiesenthal Center (SWC) untuk menerima Medal of
Valor, Medali Keberanian. Selain untuk menerima medali tersebut, Gus Dur
juga menyatakan ikut merayakan hari kemerdekaan Israel, sebuah hari di mana
bangsa Palestina dibantai besar-besaran dan diusir dari tanah airnya.
Medali ini dianugerahkan kepada mantan presiden RI ini dikarenakan Durahman
dianggap sebagai sahabat paling setia dan paling berani terang-terangan
menjadi pelindung kaum Zionis-Yahudi dunia di sebuah negeri mayoritas
Muslim terbesar seperti Indonesia.
Acara penganugerahan medali tersebut dilakukan dalam
sebuah acara makan malam istimewa yang dihadiri banyak tokoh Zionis Amerika
dan Israel, termasuk aktor pro-Zionis Will Smith (The Bad Boys Movie), di
Beverly Wilshire Hotel, 9500 Wilshire Blvd., Beverly Hills, Selasa (6 Mei),
dimulai pukul 19.00 waktu Los Angeles.
Lazimnya acara penganugerahan penghargaan, maka dalam
acara ini pun selain medali, ada juga sejumlah dollar yang dihadiahkan
Shimon Wiesenthal Center kepada sang penerima. Hanya saja, berapa besar
jumlah hadiah berupa uang ini tidak disebutkan dalam situs resmi Wiesenthal
Center tersebut (
Mungkin kebawa Bulan Suci
ramadhan.
Iseng jalan-jalan di internet
dengan keyword Penyesatan dalam Islam, ternyata semua hampir menuju pada suatu
organisasi JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mana cukup genjar dan vokal dalam
menafsirkan islam dengan gaya mereka sendiri walaupun itu bertentangan
al-Qur'an dan ass-Sunnah dengan manhaj salafus shalih.
Dan Berikut ini adalah 50
Tokoh dari JIL (Jaringan Islam Liberal) yang ada di Indonesia yang
diambil dari buku terbitan Hujjah Press
(kelompok Penerbit Al Kautsar) :
A. Para Pelopor
1. Abdul Mukti Ali
2. Abdurrahman Wahid
3. Ahmad Wahib
4. Djohan Effendi
5. Harun Nasution
6. M. Dawam Raharjo
7. Munawir Sjadzali
8. Nurcholish Madjid
B. Para Senior
9. Abdul Munir Mulkhan
10. Ahmad Syafi’i Ma’arif
11. Alwi Abdurrahman Shihab
12. Azyumardi Azra
13. Goenawan Mohammad
14. Jalaluddin Rahmat
15. Kautsar Azhari Noer
16. Komaruddin Hidayat
17. M. Amin Abdullah
18. M. Syafi’i Anwar
19. Masdar F. Mas’udi
20. Moeslim Abdurrahman
21. Nasaruddin Umar
22. Said Aqiel Siradj
23. Zainun Kamal
C. Para Penerus “Perjuangan”
24. Abd A’la
25. Abdul Moqsith Ghazali
26. Ahmad Fuad Fanani
27. Ahmad Gaus AF
28. Ahmad Sahal
29. Bahtiar Effendy
30. Budhy Munawar-Rahman
31. Denny JA
32. Fathimah Usman
33. Hamid Basyaib
34. Husein Muhammad
35. Ihsan Ali Fauzi
36. M. Jadul Maula
37. M. Luthfie Assyaukanie
38. Muhammad Ali
39. Mun’im A. Sirry
40. Nong Darol Mahmada
41. Rizal Malarangeng
42. Saiful Mujani
43. Siti Musdah Mulia
44. Sukidi
45. Sumanto al-Qurthuby
46. Syamsu Rizal Panggabean
47. Taufik Adnan Amal
48. Ulil Abshar-Abdalla
49. Zuhairi Misrawi
50. Zuly Qodir
Tambahan:
Judul Buku : 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia : Pengusung Ide Sekularisme,
Pluralisme dan Liberalisme
Penulis : Budi Handrianto
Halaman : 295 + xxvi paperback (softcover)
Cetakan 1 : Juni 2007
Penerbit : Hujjah Press (kelompok Penerbit Al Kautsar
Kamis, 31 Maret 2011
Kampanye Pluralisme yang Setengah Hati
agaimanakah
relasi komunikasi dalam bingkai pluralisme itu sesungguhnya? Pertanyaan
tersebut memang lebih layak dijawab oleh mereka yang memerjuangkannya. Tulisan
ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menerka apalagi sampai mencari
pembenaran atas wacana yang bagi mayoritas muslim tampak absurd dan kerap kali
tampil menyebalkan itu.
Tulisan ini hanya mencoba merefleksikan pluralisme dalam tataran praktik
sehari-hari saja. Lebih khusus lagi ketika wacana tadi secara intensif (bahkan
ekspresif) tampil di jagat maya. Ruang cyber dalam hal ini coba penulis
posisikan sebagai medan wacana tempat aneka rayuan, tarikan, dan model-model
persuasi bertebaran. Pluralisme hanya salah satu di antara sekian banyak wacana
yang mencoba bersaing guna memenangkan opini. Karenanya, membedah tawaran
pluralisme yang nampak entah berbentuk artikel, publisitas, hingga perkara
remeh semisal status Facebook dan celoteh Twitter menjadi menarik. Terutama
jika kita coba mengukur tingkat kesungguhan dan konsistensi wacana tadi guna
memenangkan penerimaan khalayak.
Sekadar sampel, dua tokoh pengusung pluralisme yang ditampilkan di sini adalah
Ulil Abshar Abdala dan Sumanto Al-Qurtuby. Pemilihan dua tokoh tadi sejatinya
tidak didasari pertimbangan yang cukup memadai jika ditinjau dari aspek
metodologi. Keduanya ‘dicomot’ hanya karena penulis rasa cukup intensif
menggunakan dunia maya sebagai medium penyebaran gagasan pluralisme. Tentu saja
masih banyak tokoh lain yang tidak kalah intensnya, hanya saja di sini penulis
batasi pada Ulil dan Sumanto, karena di samping akses penulis pada statement
mereka berdua cukup tinggi, keduanya juga sama-sama pernah melontarkan semacam
komitmen untuk memenangkan penerimaan wacana pluralisme agama di
masyarakat.
Kesadaran
akan penerimaan
Dalam wawancaranya yang dimuat Vivanews (21/1/10), Ulil Abshar Abdalla yang
merupakan salah seorang tokoh sentral gerakan pluralisme mengatakan bahwa “tantangan
saat ini adalah bagaimana ide-ide tentang pluralisme dan dialog-dialog agama
tidak lagi mendapatkan kecaman dan mendapatkan legitimasi di masyarakat”.
Penyataan tersebut dikemukakan Ulil menyikapi Fatwa MUI yang dikeluarkan
jauh-jauh hari yakni pada tahun 2005 tentang keharaman pluralisme, liberalisme
dan neo-liberalisme. Bagi Ulil, fatwa MUI itu memaksa para aktivis yang
getol mengampanyekan ide-ide tadi—khususnya pluralisme—menjadi takut untuk
mengemukakan pendapat. Lebih lanjut ia berpendapat situasi semacam ini amat berbeda
dengan sebelum era reformasi di mana pada waktu itu ada kebanggaaan dari
kalangan aktivis ketika mempromosikan ide tersebut.
"Pluralisme
dan kerukunan antar umat beragama saat itu dianggap sebagai ide yang maju,
modern. Namun setelah muncul fatwa MUI itu, membuat kita para aktivis yang
mengkampanyekan ide pluralisme ini jadi punya ketakutan bicara. Tekananannya
hebat," demikian ujarnya
Penolakan
dari golongan pengusung pluralisme terhadap pelbagai fatwa MUI sejatinya
bukanlah hal baru. Otoritas lembaga yang satu ini memang seringkali menjadi
sasaran tembak kalangan pembela kaum minoritas yang kerap membenturkan diri
dengan aspirasi mayoritas tersebut. Karenanya apa yang menarik sesungguhnya ada
pada respons Ulil atas konsekuensi fatwa MUI tadi. Pria yang pada waktu itu
tengah mencalonkan diri sebagai penerus kepemimpinan NU ini menekankan
pentingnya mengangkat kembali citra wacana pluralisme. "Yaitu dengan
cara mengangkat kembali reputasi mengenai ide pluralisme ini di masyarakat,"
tambahnya.
Dari sini dapat kita lihat ada semacam komitmen Ulil untuk setidaknya
menampilkan wajah pluralisme yang lebih memenangkan penerimaan
masyarakat(muslim tanah air). Masyarakat yang dalam hal ini diposisikan sebagai
sasaran sebuah gagasan, dirasa perlu untuk dipahamkan mengenai superioritas
pluralisme vis a vis pemahaman puritan yang kerap dicitrakan menjadi
“musuh” toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama.
Senada dengan Ulil, Sumanto al-Qurtuby pun memiliki pandangan yang kurang lebih
sama. Dalam artikelnya yang bertajuk ”Jihad Pluralis Melawan Kaum
Ekstrimis”, Sumanto mengajak masyarakat untuk melakukan “jihad kolektif” guna
membendung kelompok yang disebutnya sebagai ekstrimis-agama dengan tidak
menggunakan kekerasan. “Jihad yang dimaksud di sini adalah usaha keras tanpa
kenal lelah untuk melakukan ‘pencerahan’ terhadap kelompok-kelompok keagamaan
ini dengan jalan dialog yang sehat, santun, dan beradab baik melalui tulisan
akademik maupun forum-forum diskusi ilmiah yang bermuara pada pentingnya sikap
keberagamaan yang humanis-pluralis dan toleran inklusif,” (Jihad Pluralis
Melawan Kaum Ekstrimis, Kompas, 20/2/10). Sumanto juga tidak lupa menegaskan
bahwa melawan kekerasan dengan kekerasan bukanlah cara terbaik, sebagi penjelas
maksud ajakannya tadi.
Pluralis dan
kenaifan beropini
Celakanya, kehendak untuk memenangkan penerimaan khalayak akan gagasan
pluralisme sekaligus ‘berjihad’ melawan ‘kaum ekstrimis’ di atas tidak
diimbangi dengan pola komunikasi harian pegiatnya. Beberapa kali bahkan
kecenderungan pola komunikasi antipatif mengemuka dan memancing emosi publik
penyimak.
Simaklah statement Ulil berikut yang diungkapkannya dalam jejaring social
twitter 9/11/2010 yakni saat umat islam hendak melaksanakan ibadah qurban: “Menurut
saya, akan sangat baik kalau hewan korban diganti uang cash, dijadikan semacam
‘endowment’ untuk biayai pendidikan, misalnya.”
Kontan saja banyak yang merespon dengan antipati ungkapan Ulil tadi. Dari sisi
momentum, pelaksanaan ibadah kurban saat itu sudah dekat dan umat muslim tengah
bersiap menyambutnya, namun pernyataan Ulil tadi seolah-olah hendak menggugat
keyakinan cara ibadah yang telah mapan diyakini kaum muslimin bukan hanya
Indonesia namun juga dunia. Dalam hal ini resistensi tentu menjadi beralasan
dan seharusnya orang dengan kapasitas seperti Ulil, menyadari hal tersebut.
Alih-alih penerimaan, statement tadi lebih banyak menuai gugatan dan cercaan
dari khalayak muslim pengguna jejaring sosial.
Ulil Abshar Abdalla memang adalah sosok yang sejak awal kemunculannya sebagai
intelektual public kerap melahirkan opini yang kontroversial. Artikelnya yang
dimuat oleh salah satu harian nasional bertajuk ”Menyegarkan Kembali Pemahaman
Islam” misalnya, langsung menuai kecaman hingga berbuntut fatwa mati dari salah
satu ormas muslim. Kejadian tersebut rupanya sama sekali tidak menyurutkan Ulil
untuk tetap memproduksi opini yang berlawanan dari pemahaman baku umat Islam.
Akibatnya, resistensi harus terus ia tanggung sepanjang karier
keintelektualannya.
Warna moderat Ulil sebenarnya sempat mengemuka pada awal tahun 2010 lalu.
Melalui pidato kebudayaannya berjudul “Sebuah Refleksi Tentang Kehidupan
Keberagamaan dan Sosial Kita,” ia tidak lagi secara frontal menyerang pemahaman
mainstream umat islam namun mampu melihat sisi positif dari keyakinan mayoritas
muslim. Memang ide-ide liberal khas Ulil tetap ditampilkan superior pada
akhirnya tapi setidaknya ia masih memberikan ruang bagi ‘artikulasi’ yang lebih
berimbang menyangkut apa yang selama ini ia sebut sebagai pemahaman salaf dan
kelompok fundamentalis.
Kesadaran akan pentingnya artikulasi tadi sayangnya tidak terlampau
konsisten tampak sebagaimana terbukti dari celoteh-celoteh harian dan kiprahnya
di kesempatan komunikasi publik selanjutnya. Alih-alih berusaha menjadi
artikulator dari tiap elemen umat, Ulil pada pertengahan Juni 2010 justru
merambah ranah politik praktis. Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu 2009
dipilih sebagai kendaraan barunya. Pilihannya pada partai Demokrat bisa
dipahami mengingat parpol tersebut memang tidak memiliki warna ideologi yang
khas dan kental jika dibandingkan PDIP, Partai Golkar, atau PKS misalnya. Hal
ini diamini sendiri oleh Ulil yang menyatakan pilihannya didasari pada
pertimbangan bahwa Demokrat adalah partai yang masih bisa
dibentuk(inilah.com/17/6/10). Dan dalam kendaraan ini pula kicauan Ulil
di dunia cyber mengenai gagasannya yang kontroversial-seperti penolakannya atas
pemblokiran situs porno dan dukungannya pada Ahmadiyah-kian intensif berbekal back
up kekuatan politik yang lebih nyata. Walhasil kesan pragmatis dan
oportunistik sulit untuk ia hindari demikian pula kredibilitasnya sebagai
intelektual tak ayal dipertanyakan.
Di tempat yang berbeda, Sumanto Al-Qurtuby pun setali tiga uang. Berlawanan
dengan statementnya ketika mengajak berjihad melawan kelompok ekstrimis tanpa
menggunakan kekerasan, beberapa kali celetukannya di Facebook mengindikasikan
kekerasan non-fisik yang sebetulnya juga pernah ia gugat sendiri dalam “Jihad
Pluralis”-nya.
Simaklah beberapa status Sumanto berikut, “Saya kira pemerintah dan otoritas
agama terkait sudah saatnya untuk menginstruksikan agar semua tempat ibadah,
khususnya masjid/mushalla, harus kedap suara agar aktivitas keagamaan (azan,
pengajian, khotbah dlsb) tidak terdengar keras keluar ruangan yang bisa saja
mengganggu & menimbulkan ketidaknyamanan & keresahan sejumlah pihak
terutama saat pengajian/khotbah2 yg bersifat provokatif.”(18/10/10), dalam
kesempatan lain ia kembali menulis,” Apa sebetulnya alasan pengharaman babi
dlm Islam itu? Betulkah kata "khinzir" dlm Alqur'an yg dijadikan
alasan pengharaman babi itu berarti babi? Lalu apakah yg diharamkan itu
"babi putih" (babi piaraan) atau "babi coklat" (babi
hutan). Tdk spt "babi putih" yg bnyk mengandung lemak &
kolesterol, babi hutan ini sangat sehat & menyehatkan...”(22/2/10),
atau “Pada waktu konflik Maluku meletus, banyak org2 non-Muslim yg
"diislamkan" dengan cara "disunat" oleh sejumlah milisi
Muslim. Bgm sunat bisa dianggap sbg "lambang keislaman"? Bukankah
tradisi sunat dlm Islam ini berasal dr tradisi Yahudi? Karena itu
"sunat" lbh tepat disebut sbg "simbol keyahudian" drpd
"lambang keislaman"....””
Konsistensi
dan Kejujuran Intelektual
Menyaksamai inkonsistensi pernyataan dan praktik kedua tokoh pengusung
pluralisme dalam dunia maya di atas, mau tidak mau kita maklum jika akhirnya
muncul keraguan mengenai komitmen intektual keduanya. Ketika dalam
kesehariannya baik Ulil maupun Sumanto lebih menikmati aneka ekspresi
resistensi publik ketimbang bersungguh-sungguh mengkomuniksikan gagasannya
dengan santun, penolakan menjadi lumrah.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar